Hai,
kertas! Ini aku yang menyapamu lewat suara beberapa bulan yang lalu. Halo, kawan!
Perkenalkan namaku Lilyana, biasa dipanggil Lili. Saat ini umurku 15 tahun.
Sejak usiaku 9 tahun, aku terobsesi untuk menjadi seorang penyanyi. Bukan tanpa
alasan, kata orang, suaraku memang indah. Namun, kini aku harus menerima
kenyataan pahit bahwa aku tak mungkin mewujudkan cita-citaku itu.
“Waaah…
bagus sekali! Tepuk tangan dulu untuk Lili…” pujian guruku setelah aku
bernyanyi di depan kelas. Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas 3 sekolah
dasar. Mendapat pujian seperti itu, terlebih dari seorang guru seni, sangat
menambah rasa percaya diriku. Bu Nyoman, begitulah aku dan kawan-kawanku
memanggil beliau. Bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya aku menjadi semakin
akrab dengan beliau. Kemahirannya dalam bernyanyi dan bermusik membuatku ingin
berguru lebih dekat dengan beliau.
Tahun-tahun
berikutnya, kemampuan menyanyiku semakin sempurna dibawah bimbingan Bu Nyoman.
Berbagai kompetisi kuikuti, berbagai penghargaan kuraih. Kepercayaan diriku
terus meningkat. Kebanggaan tidak hanya meliputi diriku, tetapi juga ibu dan
bapakku. Maklum saja, sebenarnya aku bukan dari keluarga terpandang atau
keluarga yang kaya.
Bapakku
adalah seorang karyawan pabrik dan ibuku menjaga sebuah warung kecil milik
keluarga kami di depan rumah. Semenjak kecil, aku telah terbiasa membantu ibu
untuk menjaga warung. Bahkan, di warung itulah biasanya aku belajar dan
menghabiskan waktu luang. Meskipun warung kami itu kecil, tapi selalu ramai
pembeli. Dominan dari mereka adalah karyawan pabrik di dekat rumah yang ingin
beristirahat sambil menghisap rokok dan menikmati kopi special buatan ibuku.
Yap, konon katanya kopi buatan ibuku ini yang paling enak seantero kota ini.
“Bapak
pulang!” kata-kata yang selalu kudengar setiap hari kerja, jam 5 sore. Aku pun
menyambut kedatangan bapak, tentunya dengan sebungkus rokok cap Kebo di
tanganku. Yap, itu rokok kesukaan bapak. Sejak saat yang bisa kuingat, aku
memang telah terbiasa menyambut bapak seperti itu. Dengan seperti itu, aku
melihat bapak senang dan bangga. Ya sudah, ku teruskan saja. Toh tidak ada yang rugi. Ibuku juga
maklum saja jika aku mengambil sebungkus rokok untuk bapak dari dagangannya.
Tahun
2012. Waktu itu umurku sudah 12 tahun. Saatnya aku meninggalkan bangku sekolah
dasar dan melanjutkan pendidikan di SMP. Yap, berkat prestasi menyanyiku sejak
kelas 4 SD, aku diterima di SMP favorit di kotaku ini. Hari-hari awal adalah
masa orientasi yang entah mengapa menurutku ini seperti ajang balas dendam
senior. Tapi ya sudahlah, sepanjang masih dalam batas wajar. Satu-satunya acara
yang paling aku suka saat MOS adalah sosialisasi. Aku masih ingat waktu itu aku
dan seluruh calon siswa yang lain mendapatkan sosialisasi tentang bahaya rokok
dari Dinas Kesehatan setempat. Isinya ya… merokok dapat menyebabkan kanker,
serangan jantung, bla..bla..blaaa... Entah apa yang mereka bicarakan, aku dan
sebagian teman-temanku tidak terlalu peduli dengan itu. Kalau mau jujur waktu
itu, sebenarnya aku juga sedikit khawatir karena aku telah menjadi perokok
pasif sejak saat yang masih bisa kuingat. Konon katanya perokok pasif itu lebih
rentan terkena penyakit. Ah, masa iya?! Masa bodo! Waktu itu logika remajaku
berpikir realistis. Selama ini toh yang
batuk itu bapakku dan teman-teman bapakku yang merokok. Sementara aku, waktu
itu masih seger-seger aja.
Akhir
tahun 2012. Aku merasakan pertumbuhan ekonomi yang pesat di kotaku. Bapak naik
pangkat, warung kami makin besar, dan pelanggannya juga makin banyak. Yap!
Pabrik tempat bapak bekerja yang tidak jauh dari rumah menambah jumlah karyawan
mereka. Semuanya berubah, kehidupan keluargaku semakin baik. Namun ada satu
yang tidak berubah, kebiasaanku menyambut kedatangan bapakku saat pulang kerja.
Tahun
berikutnya, aku mulai aktif di organisasi sekolah. Bukan OSIS sih, tapi organisasi UKS. Menjadi
pengurus UKS membuatku mengetahui banyak hal tentang kesehatan. Mulai dari cara
mencuci tangan, membersihkan kamar, menyiapkan makanan, membersihkan toilet,
narkoba dan HIV/AIDS, dan termasuk pula bahaya rokok. Untuk materi yang
terakhir pada awalnya sih aku bikin
santai aja. Soalnya menurutku, sosialisasi mereka kurang realistis. Buktinya,
aku masih sehat-sehat aja sampai sekarang.
Entah
mengapa sosialisasi tentang bahaya rokok semakin sering kuikuti. Apa boleh
buat, aku dipaksa untuk ikut sosialisasi karena aku seorang pengurus UKS. Meski
pada awalnya aku tidak percaya, ada satu titik dimana aku mulai penasaran. Apa
sih yang menyebabkan mereka terus saja mensosialisasikan itu? Berbekal smartphone pemberian ibuku, aku mulai searching tentang bahaya rokok
sebenarnya. Informasi yang lebih nyata akhirnya aku dapatkan. Aku tahu! Mungkin
inilah penyebabnya. Satu hal, hanya sedikit dari informasi yang aku dapat
berisi bukti bahwa asap rokok juga sangat berbahaya bagi perokok pasif. Mereka
hanya menulis “perokok pasif lebih rentan terkena penyakit…” tapi tidak
disertai bukti-bukti yang jelas. Ya sudah!
Di
UKS, aku memiliki seorang teman yang bernama Silvy. Dia adalah anak yang sangat
pintar terutama di bidang kesehatan. Selain pintar, ia juga sangat bersih dan
sehat. Maklum saja, papa dan mamanya adalah dokter. Aku sering bertanya banyak
hal padanya. Suatu saat, aku ingin berdiskusi dengannya tentang bahaya rokok.
“Sil,
menurutmu, rokok itu bahaya?” aku memancingnya dengan pertanyaan sederhana.
“Kamu
itu bagaimana? Sudah jelas kan, Li?” ia menjawab dengan nada yang agak
meninggi.
“Maksudku
bagi yang pasif, bukan yang aktif,” aku memperjelas pertanyaanku.
“Ya
sudah jelas juga,” jawabnya singkat.
“Sudah
jelas bagaimana?” tanyaku ingin mendapatkan penjelasan yang lebih rinci lagi.
Silvy
nampak menghela nafasnya. Ia merapikan buku-buku administrasi di atas meja UKS,
mengelap mejanya dengan tisu, lalu meniupnya. Ia duduk di kursi di belakang
meja itu.
“Duduk
dulu, Li…” ia mempersilahkan aku duduk. Aku pun duduk di kursi di depan meja
itu. Persis seperti seorang pasien yang ingin berkonsultasi dengan dokternya.
“Jadi
mau kamu apa? Bukti?” ia menatapku serius kemudian mengeluarkan beberapa modul
dari laci. Ia membuka modul itu dan memperlihatkan beberapa gambar kepadaku.
“Aku
sudah pernah melihat gambar-gambar itu,” kataku. “Aku ragu itu asli. Oke!
Memang itu bisa saja terjadi bagi perokok aktif. Tapi apa mungkin itu terjadi
pada seorang perokok pasif? Aku belum dapat menemukan korelasinya…”
“Cukup!”
Silvy memotong pembicaraanku. “Mau bukti apa lagi? Apa kamu punya bukti lain
sehingga kamu tidak mau percaya?”
“Aku!”
jawabku. “Aku perokok pasif SEJAK LAHIR! You see? Nothing’s happen to me!”
“Not
yet!” jawabnya singkat.
“Can
you prove it? Nanti pulang sekolah kamu ikut aku ke rumah. Lihat bagaimana
kondisiku di rumah.”
Sepulang
sekolah, Silvy benar-benar ke rumahku dan melihat bagaimana kondisi rumahku.
Sudah kutebak, ia sangat terkejut mungkin juga sangat prihatin.
“Well,
what should I do then?” aku membuka pembicaraan.
“Stop
it!” katanya singkat dan tegas. Dia menatap tajam ke arah mataku. Aku berkata
pelan,
“Then
how? You see …”
“If
you want, you can stop it!!” katanya memotong pembicaraanku dengan nada
meninggi.
Hari-hari
setelah itu aku semakin sadar bahwa selama ini aku salah. Meskipun aku belum
benar-benar percaya bahwa asap rokok itu akan menggangguku juga, tapi paling
tidak bapakku. Aku juga gak mau lah kalau bapak sakit. Silvy benar. Ini harus
dihentikan.
“Merokok
dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan
dan janin,” aku membaca peringatan di bungkus rokok itu dengan suara yang
sedikit dikeraskan. Kebetulan bapakku sedang merokok di dekatku.
“Ah,
kamu ini ada-ada saja. Seperti orang baru bisa baca saja,” kata bapakku seolah
tak mengerti maksudku membaca seperti itu.
“Aneh
ya, Pak. Ini kan udah ada peringatannya. Kenapa Bapak dan orang-orang lain
teteeep aja merokok ya, Pak?” tanyaku pura-pura polos.
“Bersyukurlah,
Ly. Kalau mereka gak merokok, terus gak beli rokok, mana bisa kita seperti
sekarang ini? Itu HPmu juga gak bakal ada. Rumah kita gak bakal sebagus ini.
Ada makanan enak setiap hari. Lah harusnya disyukuri toh…” bapak malah balik
menasehatiku.
“Okelah,
Pak. Setidaknya kenapa Bapak juga masih? Lily kan gak mau Bapak kena kanker
lah, serangan jantung lah…”
Bapak
memotong kata-kataku, “Sssttt… jangan ngomong begitu lah… Ini buktinya bapak
masih sehat-sehat saja.”
Yap,
usahaku hari itu untuk membuat bapak berhenti merokok sepertinya tidak berhasil.
Di hari lain, aku pun menanyakan ke ibu apa betul seperti apa yang dikata bapak
kalau hasil jual rokok itu sangat membantu keluarga kita.
“Iya,
seperti itulah, Ly,” jawab ibu ketika kutanya demikian.
“Oww…”
itu membuatku berpikir sejenak. “Bagaimana kalau mereka yang beli rokok gak
usah merokok di sini, Bu?”
“Ah
kamu ada ada saja. Mana bisa. Kalau begitu pelanggan ibu bisa lari semua. Toh
mereka juga ke sini sambil ngopi dan jajan. Double
untungnya,” ibuku menjawab dengan rasional.
Kalau
seperti ini, asap rokok tidak akan berhenti kuhirup setiap hari. Mereka punya
alasan yang kuat. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan kebiasaan
buruk ini. Setidaknya, aku tidak menyambut bapak dengan sebungkus rokok lagi.
Kuharap dengan itu bapak sadar.
“Aduuuh…
bapak pusing, Ly,” keluh bapak di suatu siang kepadaku. Hari itu bapak pulang
lebih awal dari biasanya. Itu membuatku cemas. Jangan-jangan efek rokoknya
sudah muncul.
“Ini
niiih… gara-gara Bapak gak ngerokok dari pagi, Ly. Tadi Bapak lupa bawa rokok
ke pabrik. Aduuh…” keluh bapak lagi.
“Ah?
Gara-gara gak ngerokok? Apa hubungannya, Pak? Aneh bener ni Bapak,” aku ngeyel.
Memang sih bapak sangat sangat tidak logis.
Atas
perintah bapak, aku pun mengambilkan sebungkus rokok kesukaan bapak. Sebatang
dua batang rokok bapak hisap. Dan sulit dipercaya, keluhan bapak hilang. Bapak
kembali sehat dan bersemangat. Ini membuatku bingung. Rokok ini sebenarnya
racun atau obat?
Minggu
demi minggu, bulan demi bulan, geregetku untuk mencegah bapak merokok pun
semakin hilang. Asap rokok senantiasa memenuhi hampir setiap ruang di rumahku.
Warung di rumah juga semakin berkembang dan semakin ramai pembeli. Dan
pembelinya, hampir seluruhnya ngerokok. Yasudahlah! Bodo amat! Toh juga tidak
terjadi apa-apa selama ini. Bapak justru malah ngeluh kalau gak ngerokok.
Akhir
tahun 2014 sudah dekat. Aku dipersiapkan untuk mengisi acara malam tahun baru.
Suaraku terus kulatih di bawah bimbingan Bu Nyoman. Bernyanyi dan belajar
memang dua hal yang berbeda. Entah mengapa saat bernyanyi aku sama sekali tak
merasa bosan atau jenuh. Inilah hobiku yang paling bermanfaat. Selain refreshing, juga menghasilkan uang dan
prestasi.
“Huk!
Uhuk! Rrrggghh…” aku terbatuk di tengah sesi latihan. Entah mengapa suaraku menjadi
sering serak belakangan ini.
“Kamu
kebanyakan minum es ya begini. Dari kemarin-kemarin latihan juga banyak nada
yang gak sampai. Sudah dulu deh… mending kamu istirahat dulu,” kata Bu Nyoman
malam itu.
Setelah
itu, aku mencoba latihan sendiri di rumah. Benar kata Bu Nyoman, beberapa nada
memang tidak sampai kunyanyikan. Aneh, aku merasakan sepertinya suaraku semakin
berat. Menelan juga terasa aneh.
“Kamu
sakit tenggorokan tuh. Kebanyakan minum es,” kata ibuku. “Besok kita ke dokter.”
Keesokan
harinya, kami pergi ke dokter praktek umum di dekat rumah. Memang benar, aku
infeksi tenggorokan. Kesimpulannya, aku tidak bisa ikut latihan beberapa hari
ke depan. Oke, baiklah!
Aku
dengan sabar menunggu. Beberapa hari berikutnya, keadaan tidak membaik. Aku justru
serak dan sulit berbicara. Menelan pun sulit rasanya, meskipun hanya menelan
ludah. Lebih dari seminggu, aku bosan. Daripada aku memberatkan Bu Nyoman,
lebih baik aku mengundurkan diri dari acara itu.
Kurang
dari tiga minggu berikutnya, acara malam tahun baru dimulai. Aku datang ke
sana. Seharusnya aku tampil di atas panggung itu, tapi rrgghhh… ini tenggorokan
kapan sembuhnya ya? Sedih memang sesuatu yang dari dulu aku inginkan tidak bisa
terwujud di akhir dan awal tahun ini. Yasudahlah, toh masih ada kesempatan yang lain.
Januari
2015. Sepertinya sudah lebih sebulan, tapi ini sakit tenggorokan kok rasanya semakin parah. Menelan
apapun terasa sangat perih. Aku pun tak dapat banyak berbicara. Sedikit sedikit
“rrrghhh”, sedikit sedikit “uhukk-uhuukk”.
Puncaknya
hari itu. Aku terbangun di pagi hari dan merasa tenggorokanku sangat sakit. Aku
ke toilet hendak berkumur. Sebelum sempat berkumur, aku terbatuk. Batuk yang
benar-benar berat dan terasa sangat sakit. Aku sangat terkejut saat melihat ke
tangan yang kugununakan untuk menutup mulut. Darah! Ingin rasanya aku berteriak
memanggil ibuku.
“IBUUUU!
DARAAAH, BUU!!” apadaya itu tertahan di pangkal tenggorokanku. Aku sama sekali
tak dapat mengeluarkan suara. Tidaaak! Apa yang terjadi? Sedetik kemudian aku
berlari menuju ibuku. Aku menjelaskan semuanya, tentunya dengan isyarat dan
menunjukkan apa yang ada di tanganku. Ibuku panik dan memanggil bapak. Saat itu
pula, kami pergi ke rumah sakit.
Di
sinilah aku di sebuah ruang kelas di rumah sakit. Sehari berikutnya, dokter
memberitahu hasil diagnosisnya kepada bapak. Wajah bapak tampak tak senang dan
ibu justru langsung lemas. Singkat cerita, akhirnya aku tahu.
Akhirnya
aku tahu apa yang sedang terjadi padaku. Aku tahu apa yang akan terjadi padaku
pula. Aku tahu bahwa sebelumnya aku salah. Mungkin tidak salah. Hanya saja terlambat.
Mungkin juga belum terlambat. Hanya saja kurang serius. Mungkin tidak perlu
kata serius. Mungkin hanya perlu tambahan sepatah dua patah kata lagi dengan
penekanan yang pasti. Mungkin yang seharusnya kulakukan dari awal adalah berucap.
Mei
2015. Beberapa bulan setelah operasi pengangkatan kanker itu dilakukan.
Sekarang aku kehilangan suaraku. Mungkin bukan sekedar suaraku, tetapi modalku.
Bukan hanya modal, tetapi gema! Gema hidupku hilang! Gema masa depanku, hilang
semua!! Berat memang mengakui semuanya sudah terjadi. Mengalah dengan
kenyataan.
Aku
tidak jatuh sejauh itu. Aku tetap melanjutkan hidup dan sekolahku. Baru saja
aku menyelesaikan sebuah ujian akhir yang melelahkan. Ulang tahunku menunggu di
akhir Mei. Ulang tahun pertamaku tanpa suaraku menghiasi. Ulang tahun pertamaku
yang sunyi. Ulang tahun yang menghapus mimpi-mimpi di tahun sebelumnya. Selamat ulang tahun, Aku! :)
Aku
salah. Seandainya waktu itu aku berbicara lebih berani dan tegas. Satu hal,
kawan! Jangan biarkan ini terjadi padamu, pada orang-orang di sekitarmu. Jangan
biarkan lebih banyak mimpi yang terbunuh lagi. Seandainya asap rokok itu hanya
membunuhmu, orang-orang yang merokok, maka aku tak perlu menceritakan ini panjang
lebar. Kenyataannya, asap rokok membunuh mimpi orang-orang di sekitarmu.
Sebenarnya aku ingin… berteriak lantang MENGUTUK pembunuh mimpiku itu. Apadaya,
kini semua hanya bisa kutumpahkan dalam tulisan. Seandainya lidahku berucap…
Salam hangat,
Lilyana Hermawati
oleh Putu Amarta Sadwika Sukma (@AmartaSadwika)
dalam rangka memperingati #HariTanpaTembakauSedunia
tanggal 31 Mei 2015
Ilustrasi oleh Dini Syaitri di http://syafitridini23.blogspot.com/
Penyunting Akhir:
1. Indira K. Wardani (@Ndahdira_Sena)
2. Made Chindy D. M. Putri (@chindydwiyantimp)
Penyunting Akhir:
1. Indira K. Wardani (@Ndahdira_Sena)
2. Made Chindy D. M. Putri (@chindydwiyantimp)
Terimakasih dan Semangat kepada temen-temen dari Forum Anak Daerah Bali yang tadi pagi menggelar Aksi Damai Peringatan #HariTanpaTembakauSedunia di Lapangan Puputan Badung, Denpasar.
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Children's and Teens' Diary) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
0 komentar:
Posting Komentar