Sabtu, 30 Mei 2015

Seandainya Lidahku Berucap

Hai, kertas! Ini aku yang menyapamu lewat suara beberapa bulan yang lalu. Halo, kawan! Perkenalkan namaku Lilyana, biasa dipanggil Lili. Saat ini umurku 15 tahun. Sejak usiaku 9 tahun, aku terobsesi untuk menjadi seorang penyanyi. Bukan tanpa alasan, kata orang, suaraku memang indah. Namun, kini aku harus menerima kenyataan pahit bahwa aku tak mungkin mewujudkan cita-citaku itu.


“Waaah… bagus sekali! Tepuk tangan dulu untuk Lili…” pujian guruku setelah aku bernyanyi di depan kelas. Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Mendapat pujian seperti itu, terlebih dari seorang guru seni, sangat menambah rasa percaya diriku. Bu Nyoman, begitulah aku dan kawan-kawanku memanggil beliau. Bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya aku menjadi semakin akrab dengan beliau. Kemahirannya dalam bernyanyi dan bermusik membuatku ingin berguru lebih dekat dengan beliau.

Tahun-tahun berikutnya, kemampuan menyanyiku semakin sempurna dibawah bimbingan Bu Nyoman. Berbagai kompetisi kuikuti, berbagai penghargaan kuraih. Kepercayaan diriku terus meningkat. Kebanggaan tidak hanya meliputi diriku, tetapi juga ibu dan bapakku. Maklum saja, sebenarnya aku bukan dari keluarga terpandang atau keluarga yang kaya.

Bapakku adalah seorang karyawan pabrik dan ibuku menjaga sebuah warung kecil milik keluarga kami di depan rumah. Semenjak kecil, aku telah terbiasa membantu ibu untuk menjaga warung. Bahkan, di warung itulah biasanya aku belajar dan menghabiskan waktu luang. Meskipun warung kami itu kecil, tapi selalu ramai pembeli. Dominan dari mereka adalah karyawan pabrik di dekat rumah yang ingin beristirahat sambil menghisap rokok dan menikmati kopi special buatan ibuku. Yap, konon katanya kopi buatan ibuku ini yang paling enak seantero kota ini.

“Bapak pulang!” kata-kata yang selalu kudengar setiap hari kerja, jam 5 sore. Aku pun menyambut kedatangan bapak, tentunya dengan sebungkus rokok cap Kebo di tanganku. Yap, itu rokok kesukaan bapak. Sejak saat yang bisa kuingat, aku memang telah terbiasa menyambut bapak seperti itu. Dengan seperti itu, aku melihat bapak senang dan bangga. Ya sudah, ku teruskan saja. Toh tidak ada yang rugi. Ibuku juga maklum saja jika aku mengambil sebungkus rokok untuk bapak dari dagangannya.

Tahun 2012. Waktu itu umurku sudah 12 tahun. Saatnya aku meninggalkan bangku sekolah dasar dan melanjutkan pendidikan di SMP. Yap, berkat prestasi menyanyiku sejak kelas 4 SD, aku diterima di SMP favorit di kotaku ini. Hari-hari awal adalah masa orientasi yang entah mengapa menurutku ini seperti ajang balas dendam senior. Tapi ya sudahlah, sepanjang masih dalam batas wajar. Satu-satunya acara yang paling aku suka saat MOS adalah sosialisasi. Aku masih ingat waktu itu aku dan seluruh calon siswa yang lain mendapatkan sosialisasi tentang bahaya rokok dari Dinas Kesehatan setempat. Isinya ya… merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, bla..bla..blaaa... Entah apa yang mereka bicarakan, aku dan sebagian teman-temanku tidak terlalu peduli dengan itu. Kalau mau jujur waktu itu, sebenarnya aku juga sedikit khawatir karena aku telah menjadi perokok pasif sejak saat yang masih bisa kuingat. Konon katanya perokok pasif itu lebih rentan terkena penyakit. Ah, masa iya?! Masa bodo! Waktu itu logika remajaku berpikir realistis. Selama ini toh yang batuk itu bapakku dan teman-teman bapakku yang merokok. Sementara aku, waktu itu masih seger-seger aja.

Akhir tahun 2012. Aku merasakan pertumbuhan ekonomi yang pesat di kotaku. Bapak naik pangkat, warung kami makin besar, dan pelanggannya juga makin banyak. Yap! Pabrik tempat bapak bekerja yang tidak jauh dari rumah menambah jumlah karyawan mereka. Semuanya berubah, kehidupan keluargaku semakin baik. Namun ada satu yang tidak berubah, kebiasaanku menyambut kedatangan bapakku saat pulang kerja.
Tahun berikutnya, aku mulai aktif di organisasi sekolah. Bukan OSIS sih, tapi organisasi UKS. Menjadi pengurus UKS membuatku mengetahui banyak hal tentang kesehatan. Mulai dari cara mencuci tangan, membersihkan kamar, menyiapkan makanan, membersihkan toilet, narkoba dan HIV/AIDS, dan termasuk pula bahaya rokok. Untuk materi yang terakhir pada awalnya sih aku bikin santai aja. Soalnya menurutku, sosialisasi mereka kurang realistis. Buktinya, aku masih sehat-sehat aja sampai sekarang.

Entah mengapa sosialisasi tentang bahaya rokok semakin sering kuikuti. Apa boleh buat, aku dipaksa untuk ikut sosialisasi karena aku seorang pengurus UKS. Meski pada awalnya aku tidak percaya, ada satu titik dimana aku mulai penasaran. Apa sih yang menyebabkan mereka terus saja mensosialisasikan itu? Berbekal smartphone pemberian ibuku, aku mulai searching tentang bahaya rokok sebenarnya. Informasi yang lebih nyata akhirnya aku dapatkan. Aku tahu! Mungkin inilah penyebabnya. Satu hal, hanya sedikit dari informasi yang aku dapat berisi bukti bahwa asap rokok juga sangat berbahaya bagi perokok pasif. Mereka hanya menulis “perokok pasif lebih rentan terkena penyakit…” tapi tidak disertai bukti-bukti yang jelas. Ya sudah!

Di UKS, aku memiliki seorang teman yang bernama Silvy. Dia adalah anak yang sangat pintar terutama di bidang kesehatan. Selain pintar, ia juga sangat bersih dan sehat. Maklum saja, papa dan mamanya adalah dokter. Aku sering bertanya banyak hal padanya. Suatu saat, aku ingin berdiskusi dengannya tentang bahaya rokok.

“Sil, menurutmu, rokok itu bahaya?” aku memancingnya dengan pertanyaan sederhana.

“Kamu itu bagaimana? Sudah jelas kan, Li?” ia menjawab dengan nada yang agak meninggi.

“Maksudku bagi yang pasif, bukan yang aktif,” aku memperjelas pertanyaanku.

“Ya sudah jelas juga,” jawabnya singkat.

“Sudah jelas bagaimana?” tanyaku ingin mendapatkan penjelasan yang lebih rinci lagi.

Silvy nampak menghela nafasnya. Ia merapikan buku-buku administrasi di atas meja UKS, mengelap mejanya dengan tisu, lalu meniupnya. Ia duduk di kursi di belakang meja itu.

“Duduk dulu, Li…” ia mempersilahkan aku duduk. Aku pun duduk di kursi di depan meja itu. Persis seperti seorang pasien yang ingin berkonsultasi dengan dokternya.

“Jadi mau kamu apa? Bukti?” ia menatapku serius kemudian mengeluarkan beberapa modul dari laci. Ia membuka modul itu dan memperlihatkan beberapa gambar kepadaku.

“Aku sudah pernah melihat gambar-gambar itu,” kataku. “Aku ragu itu asli. Oke! Memang itu bisa saja terjadi bagi perokok aktif. Tapi apa mungkin itu terjadi pada seorang perokok pasif? Aku belum dapat menemukan korelasinya…”

“Cukup!” Silvy memotong pembicaraanku. “Mau bukti apa lagi? Apa kamu punya bukti lain sehingga kamu tidak mau percaya?”

“Aku!” jawabku. “Aku perokok pasif SEJAK LAHIR! You see? Nothing’s happen to me!”

“Not yet!” jawabnya singkat.

“Can you prove it? Nanti pulang sekolah kamu ikut aku ke rumah. Lihat bagaimana kondisiku di rumah.”

Sepulang sekolah, Silvy benar-benar ke rumahku dan melihat bagaimana kondisi rumahku. Sudah kutebak, ia sangat terkejut mungkin juga sangat prihatin.

“Well, what should I do then?” aku membuka pembicaraan.

“Stop it!” katanya singkat dan tegas. Dia menatap tajam ke arah mataku. Aku berkata pelan,

“Then how? You see …”

“If you want, you can stop it!!” katanya memotong pembicaraanku dengan nada meninggi.

Hari-hari setelah itu aku semakin sadar bahwa selama ini aku salah. Meskipun aku belum benar-benar percaya bahwa asap rokok itu akan menggangguku juga, tapi paling tidak bapakku. Aku juga gak mau lah kalau bapak sakit. Silvy benar. Ini harus dihentikan.

“Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin,” aku membaca peringatan di bungkus rokok itu dengan suara yang sedikit dikeraskan. Kebetulan bapakku sedang merokok di dekatku.

“Ah, kamu ini ada-ada saja. Seperti orang baru bisa baca saja,” kata bapakku seolah tak mengerti maksudku membaca seperti itu.

“Aneh ya, Pak. Ini kan udah ada peringatannya. Kenapa Bapak dan orang-orang lain teteeep aja merokok ya, Pak?” tanyaku pura-pura polos.

“Bersyukurlah, Ly. Kalau mereka gak merokok, terus gak beli rokok, mana bisa kita seperti sekarang ini? Itu HPmu juga gak bakal ada. Rumah kita gak bakal sebagus ini. Ada makanan enak setiap hari. Lah harusnya disyukuri toh…” bapak malah balik menasehatiku.

“Okelah, Pak. Setidaknya kenapa Bapak juga masih? Lily kan gak mau Bapak kena kanker lah, serangan jantung lah…”

Bapak memotong kata-kataku, “Sssttt… jangan ngomong begitu lah… Ini buktinya bapak masih sehat-sehat saja.”

Yap, usahaku hari itu untuk membuat bapak berhenti merokok sepertinya tidak berhasil. Di hari lain, aku pun menanyakan ke ibu apa betul seperti apa yang dikata bapak kalau hasil jual rokok itu sangat membantu keluarga kita.

“Iya, seperti itulah, Ly,” jawab ibu ketika kutanya demikian.

“Oww…” itu membuatku berpikir sejenak. “Bagaimana kalau mereka yang beli rokok gak usah merokok di sini, Bu?”

“Ah kamu ada ada saja. Mana bisa. Kalau begitu pelanggan ibu bisa lari semua. Toh mereka juga ke sini sambil ngopi dan jajan. Double untungnya,” ibuku menjawab dengan rasional.

Kalau seperti ini, asap rokok tidak akan berhenti kuhirup setiap hari. Mereka punya alasan yang kuat. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan kebiasaan buruk ini. Setidaknya, aku tidak menyambut bapak dengan sebungkus rokok lagi. Kuharap dengan itu bapak sadar.

“Aduuuh… bapak pusing, Ly,” keluh bapak di suatu siang kepadaku. Hari itu bapak pulang lebih awal dari biasanya. Itu membuatku cemas. Jangan-jangan efek rokoknya sudah muncul.

“Ini niiih… gara-gara Bapak gak ngerokok dari pagi, Ly. Tadi Bapak lupa bawa rokok ke pabrik. Aduuh…” keluh bapak lagi.

“Ah? Gara-gara gak ngerokok? Apa hubungannya, Pak? Aneh bener ni Bapak,” aku ngeyel. Memang sih bapak sangat sangat tidak logis.

Atas perintah bapak, aku pun mengambilkan sebungkus rokok kesukaan bapak. Sebatang dua batang rokok bapak hisap. Dan sulit dipercaya, keluhan bapak hilang. Bapak kembali sehat dan bersemangat. Ini membuatku bingung. Rokok ini sebenarnya racun atau obat?

Minggu demi minggu, bulan demi bulan, geregetku untuk mencegah bapak merokok pun semakin hilang. Asap rokok senantiasa memenuhi hampir setiap ruang di rumahku. Warung di rumah juga semakin berkembang dan semakin ramai pembeli. Dan pembelinya, hampir seluruhnya ngerokok. Yasudahlah! Bodo amat! Toh juga tidak terjadi apa-apa selama ini. Bapak justru malah ngeluh kalau gak ngerokok.

Akhir tahun 2014 sudah dekat. Aku dipersiapkan untuk mengisi acara malam tahun baru. Suaraku terus kulatih di bawah bimbingan Bu Nyoman. Bernyanyi dan belajar memang dua hal yang berbeda. Entah mengapa saat bernyanyi aku sama sekali tak merasa bosan atau jenuh. Inilah hobiku yang paling bermanfaat. Selain refreshing, juga menghasilkan uang dan prestasi.

“Huk! Uhuk! Rrrggghh…” aku terbatuk di tengah sesi latihan. Entah mengapa suaraku menjadi sering serak belakangan ini.

“Kamu kebanyakan minum es ya begini. Dari kemarin-kemarin latihan juga banyak nada yang gak sampai. Sudah dulu deh… mending kamu istirahat dulu,” kata Bu Nyoman malam itu.

Setelah itu, aku mencoba latihan sendiri di rumah. Benar kata Bu Nyoman, beberapa nada memang tidak sampai kunyanyikan. Aneh, aku merasakan sepertinya suaraku semakin berat. Menelan juga terasa aneh.

“Kamu sakit tenggorokan tuh. Kebanyakan minum es,” kata ibuku. “Besok kita ke dokter.”

Keesokan harinya, kami pergi ke dokter praktek umum di dekat rumah. Memang benar, aku infeksi tenggorokan. Kesimpulannya, aku tidak bisa ikut latihan beberapa hari ke depan. Oke, baiklah!

Aku dengan sabar menunggu. Beberapa hari berikutnya, keadaan tidak membaik. Aku justru serak dan sulit berbicara. Menelan pun sulit rasanya, meskipun hanya menelan ludah. Lebih dari seminggu, aku bosan. Daripada aku memberatkan Bu Nyoman, lebih baik aku mengundurkan diri dari acara itu.

Kurang dari tiga minggu berikutnya, acara malam tahun baru dimulai. Aku datang ke sana. Seharusnya aku tampil di atas panggung itu, tapi rrgghhh… ini tenggorokan kapan sembuhnya ya? Sedih memang sesuatu yang dari dulu aku inginkan tidak bisa terwujud di akhir dan awal tahun ini. Yasudahlah, toh masih ada kesempatan yang lain.

Januari 2015. Sepertinya sudah lebih sebulan, tapi ini sakit tenggorokan kok rasanya semakin parah. Menelan apapun terasa sangat perih. Aku pun tak dapat banyak berbicara. Sedikit sedikit “rrrghhh”, sedikit sedikit “uhukk-uhuukk”.

Puncaknya hari itu. Aku terbangun di pagi hari dan merasa tenggorokanku sangat sakit. Aku ke toilet hendak berkumur. Sebelum sempat berkumur, aku terbatuk. Batuk yang benar-benar berat dan terasa sangat sakit. Aku sangat terkejut saat melihat ke tangan yang kugununakan untuk menutup mulut. Darah! Ingin rasanya aku berteriak memanggil ibuku.

“IBUUUU! DARAAAH, BUU!!” apadaya itu tertahan di pangkal tenggorokanku. Aku sama sekali tak dapat mengeluarkan suara. Tidaaak! Apa yang terjadi? Sedetik kemudian aku berlari menuju ibuku. Aku menjelaskan semuanya, tentunya dengan isyarat dan menunjukkan apa yang ada di tanganku. Ibuku panik dan memanggil bapak. Saat itu pula, kami pergi ke rumah sakit.

Di sinilah aku di sebuah ruang kelas di rumah sakit. Sehari berikutnya, dokter memberitahu hasil diagnosisnya kepada bapak. Wajah bapak tampak tak senang dan ibu justru langsung lemas. Singkat cerita, akhirnya aku tahu.

Akhirnya aku tahu apa yang sedang terjadi padaku. Aku tahu apa yang akan terjadi padaku pula. Aku tahu bahwa sebelumnya aku salah. Mungkin tidak salah. Hanya saja terlambat. Mungkin juga belum terlambat. Hanya saja kurang serius. Mungkin tidak perlu kata serius. Mungkin hanya perlu tambahan sepatah dua patah kata lagi dengan penekanan yang pasti. Mungkin yang seharusnya kulakukan dari awal adalah berucap.

Mei 2015. Beberapa bulan setelah operasi pengangkatan kanker itu dilakukan. Sekarang aku kehilangan suaraku. Mungkin bukan sekedar suaraku, tetapi modalku. Bukan hanya modal, tetapi gema! Gema hidupku hilang! Gema masa depanku, hilang semua!! Berat memang mengakui semuanya sudah terjadi. Mengalah dengan kenyataan.

Aku tidak jatuh sejauh itu. Aku tetap melanjutkan hidup dan sekolahku. Baru saja aku menyelesaikan sebuah ujian akhir yang melelahkan. Ulang tahunku menunggu di akhir Mei. Ulang tahun pertamaku tanpa suaraku menghiasi. Ulang tahun pertamaku yang sunyi. Ulang tahun yang menghapus mimpi-mimpi di tahun sebelumnya. Selamat ulang tahun, Aku! :)

Aku salah. Seandainya waktu itu aku berbicara lebih berani dan tegas. Satu hal, kawan! Jangan biarkan ini terjadi padamu, pada orang-orang di sekitarmu. Jangan biarkan lebih banyak mimpi yang terbunuh lagi. Seandainya asap rokok itu hanya membunuhmu, orang-orang yang merokok, maka aku tak perlu menceritakan ini panjang lebar. Kenyataannya, asap rokok membunuh mimpi orang-orang di sekitarmu. Sebenarnya aku ingin… berteriak lantang MENGUTUK pembunuh mimpiku itu. Apadaya, kini semua hanya bisa kutumpahkan dalam tulisan. Seandainya lidahku berucap…

Salam hangat,

Lilyana Hermawati

oleh Putu Amarta Sadwika Sukma (@AmartaSadwika)
dalam rangka memperingati #HariTanpaTembakauSedunia
tanggal 31 Mei 2015

Ilustrasi oleh Dini Syaitri di http://syafitridini23.blogspot.com/

Penyunting Akhir:
1. Indira K. Wardani (@Ndahdira_Sena)
2. Made Chindy D. M. Putri (@chindydwiyantimp)


Terimakasih dan Semangat kepada temen-temen dari Forum Anak Daerah Bali yang tadi pagi menggelar Aksi Damai Peringatan #HariTanpaTembakauSedunia di Lapangan Puputan Badung, Denpasar.



*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Children's and Teens' Diary) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!


0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 PASS-ON. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Blogger Showcase