Selasa, 30 Juni 2015

Kisah Dua Mutiara

Dikisahkan seorang saudagar kaya memiliki dua buah mutiara yang sangat indah. Mutiara-mutiara tersebut disimpannya di dalam sebuah kotak mutiara mewah beralaskan bantal yang halus dan empuk. Kedua mutiara itu menikmati hari-hari mereka bersama di tempat yang sangat nyaman, penuh kebanggaan, dan segala perhatian. Karena keindahannya, mutiara-mutiara tersebut dipamerkan di depan rumah sang saudagar dengan dilindungi wadah kaca sehingga siapapun yang lewat di depan rumah sang saudagar akan terkesima melihat mutiara-mutiara itu.


Suatu hari, sang saudagar pergi ke kota lain untuk membawa beberapa barang dan perhiasan yang hendak dijual. Kedua mutiara kesayangannya itu pun turut dibawanya. Di tengah perjalanan, kedua mutiara itu berbincang-bincang.

“Hey, Muti. Apakah kita akan dijual oleh sang saudagar?” tanya mutiara yang satunya.

“Entahlah, Tiara. Semoga saja tidak. Aku tidak mau keluar dari tempat kita yang nyaman dan mewah ini,” kata Muti, mutiara yang lain sambil meloncat-loncat di bantal empuk mereka.

“Aku takut, Muti. Bagaimana kalau nanti kita dibeli oleh orang miskin atau orang kumal. Aku tidak mau diperlakukan buruk oleh mereka.”

“Hey…hey! Kalian tidak usah takut!” kata sang saudagar sambil mengelus-elus mereka seakan-akan ia bisa mendengar perbincangan kedua mutiara itu tadi.

“Kalian tidak akan pernah kujual. Kalian sudah kuanggap seperti nyawaku sendiri,” kata sang saudagar.

Mendengar kata-kata tersebut kedua mutiara itu sangat senang dan tenang.
Namun tiba-tiba, di tengah perjalanan kereta sang saudagar terperosok ke sebuah jurang. Kereta sang saudagar telah jatuh, namun sang saudagar masih bisa bertahan di tepian dengan bergantung pada kedua tangannya. Sementara itu, kedua mutiara pun masih selamat di tepian jurang di dalam kotak mereka.

“Tolooong! Tolong! Oh Tuhan! Selamatkanlah aku!” teriak sang saudagar meminta tolong. Yang ia butuhkan sekarang adalah seseorang untuk menariknya ke atas. Tetapi tak seorang pun melintas di jalan itu. Kedua mutiara kesayangan sang saudagar pun nampak ikut bersedih.

“Bagaimana menurutmu? Apa yang harus kita lakukan?” kata Tiara.

“Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Kita ini mutiara. Mutiara itu perhiasan. Memang apa yang bisaa kita lakukan?” kata Muti.

“Oh Tuhan! Aku hanya bisa berdoa. Selamatkanlah nyawa sang saudagar!” kata Tiara dalam doa.

“Apakah kau sudah gila? Manusia saja tidak pernah mendengarkan kata-kata kita. Apa yang kau harapkan dari Tuhan?” kata Muti tidak percaya.

Saat itu juga, lewatlah seorang kuli yang hendak pulang ke rumahnya. Mendengar teriakan minta tolong dari sang saudagar, kuli itu pun menghampirinya dan menariknya ke atas.

“Terimakasih, Tuan. Kau telah menyelamatkan nyawaku,” kata sang saudagar setengah bersujud di depan kuli itu.

“Jangan berkata seperti itu, Tuan. Aku hanyalah seorang kuli yang kebetulan lewat,” kata sang kuli dengan rendah hati.

“Aku pernah berkata bahwa kedua mutiaraku ini adalah nyawaku. Kau telah menyelamatkan nyawaku kali ini. Ambillah salah satu dari mereka,” kata sang saudagar.

Mendengar kata-kata sang saudagar mutiara-mutiara itu panik.

“Apa???!! Aku tidak mau! Aku tidak mau diambil oleh kuli yang kumal itu! Kotor!! Jijik!” kata Muti.

“Aku pun takut, Muti,” kata Tiara.

“Ini semua salahmu! Kau yang mengundang orang itu ke sini kan? Jadi, kau yang harus ikut dengan dia!” kata Muti dengan nada meninggi.

“Baiklah, Tuan. Aku menerima pemberianmu ini bukan sebagai imbalan, melainkan sebuah berkat bagiku. Aku akan mengambil yang ini,” kata sang kuli sambil mengambil salah satu dari mereka, Tiara.

Muti pun merasa tenang dan senang karena ia tidak harus pergi dari kotaknya yang nyaman dan mewah. Sementara itu, Tiara terlihat ketakutan. Tangan kotor sang kuli mengelusnya. Ia pun dimasukkan ke dalam sebuah kantong yang kumal dan bau.

Sesampainya di rumah sang kuli, Tiara ditempatkan di sebuah kotak kecil bersama beberapa manik-manik dari perak. Kotak itu sangat berbeda dibandingkan kotak yang ia tempati sebelumnya. Pada awalnya Tiara memang sangat sedih, namun teman-temannya, manik-manik perak selalu menghiburnya.

“Oh Tuhan, mengapa ini terjadi padaku? Apa salahku? Semoga berkat dan restumu selalu menjadikan semua ini yang terbaik,” doa Tiara di setiap harinya.

Tuhan sepertinya tidak mengabulkan doa Tiara secara langsung. Berhari-hari ia tetap berdiam di dalam kotak itu bersama beberapa manik-manik perak.

“Sudahlah! Kami tau kau adalah mutiara, berbeda dengan kami yang hanya manik-manik. Tolong terima tempat ini sebagai rumahmu, dan kami sebagai keluargamu sekarang,” kata salah satu manik-manik. Lambat laun, Tiara mulai menerima kondisinya saat ini. Ia lebih banyak bersyukur dan selalu memohonkan yang terbaik, bagi teman-temannya di sana dan bagi sang kuli yang telah menyediakannya tempat.

Suatu hari, sang kuli pergi bekerja dan membawa Tiara yang ingin ia perlihatkan kepada teman-temannya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba sang kuli merasa kelaparan. Tidak biasanya sang kuli merasa seperti itu, sampai-sampai ia tak mampu melanjutkan perjalanannya. Menyadari sang kuli kelaparan, Tiara merasa sedih.

“Oh Tuhan! Tolonglah sang kuli. Kasihan dia kelaparan,” doa Tiara.

Tiba-tiba sang kuli melihat sebuah pohon manga di depannya lengkap dengan buahnya yang matang. Sang kuli pun langsung memetik mangga-mangga tersebut dan memakannya. Sang kuli akhirnya kenyang dan melanjutkan perjalanannya.

Sesampainya di tempat bekerja, belum sempat ia memperlihatkan Tiara, majikan sang kuli memanggilnya. Sang majikan terlihat seram dan galak. Sang kuli takut kalau hari itu ia akan dipecat.

“Oh Tuhan! Jangan biarkan Tuan ini memecat sang kuli. Kasihan dia tidak dapat bekerja lagi,” doa Tiara.

Ternyata, sang majikan memperhatikan kerja sang kuli yang sangat bagus. Sang kuli pun diberikan bonus beberapa keping koin emas. Raut muka sang kuli langsung berubah bahagia. Saking bahagianya, sang kuli lupa memperlihatkan Tiara kepada teman-temannya.

Sore pun menjelang, waktunya sang kuli untuk pulang ke rumahnya. Seakan-akan keberuntungan tengah menyelimuti sang kuli, di tengah perjalanan ia menemukan sebuah kantong yang cukup besar. Kantong tersebut berisi banyak sekali emas dan tergeletak begitu saja di tengah jalan. Di dalamnya terdapat tulisan, “Terimalah ini sebagai berkat, bukan sekedar pemberian”. Sang kuli pun membawa kantong tersebut ke rumahnya.

“Ini pasti karena aku membawamu hari ini,” kata sang kuli sambil menatap dalam Tiara. “Kaulah mutiara keberuntungan.”

Sang kuli meletakkan kembali Tiara ke kotaknya bersama teman-temannya. Namun, kali ini sang kuli memperlakukannya spesial. Sang kuli membersihkan dan menghias kotak tersebut. Manik-manik peraknya pun turut dibersihkan. Kemudian mereka diletakkan kembali ke kotak yang sudah dihias tersebut dengan Tiara diletakkan di atas manik-manik perak yang lain.

Saking gembiranya, sang kuli pun memamerkan mutiara lengkap dengan manik-manik dan kotaknya itu di depan rumah barunya yang mewah. “Inilah mutiara keberuntunganku” itu yang tertulis di luar kotak kaca. Orang-orang berbondong-bondong untuk melihat mutiara keberuntungan itu. Banyak yang terpukau dan ingin membelinya. Tidak hanya Tiara yang bangga, manik-manik lainnya pun ikut bangga karena mereka pun merasa diperhatikan.

“Terimakasih, Tiara! Berkatmu kami bisa diperlakukan lebih baik sekarang. Kami sangat senang!” ungkap manik-manik perak kepada Tiara.

“Aku tidak akan menjual mutiara itu kepada kalian. Namun, kalian dapat membeli beberapa manik-manik perak itu. Mereka kutempatkan di tempat yang sama, mereka saling bersentuhan, dan dengan itu kuharapkan mereka turut memberikan keberuntungan kepada kalian,” kata sang kuli kepada orang-orang yang ingin membeli Tiara.

Mendengar kata-kata sang kuli, manik-manik perak bersorak senang. Mereka merasa begitu dihargai. Akhirnya setelah sekian lama mereka diletakkan di tempat yang gelap dan kotor, hari ini mereka diperlakukan begitu istimewa. Itu semua berkat Tiara si mutiara.

Lama tak mendengar kabar Muti, mutiara yang lain, ia tetap bersandar nyaman di kotak mewahnya. Suatu ketika, sang saudagar membawanya ke istana untuk mengikuti sebuah pameran yang diadakan sang raja. Muti pun merasa senang dan bangga, namun tak lama menjadi angkuh setelah ia ditempatkan di tempat yang lebih tinggi.

“Akulah yang terbaik! Akulah yang terindah! Hahahaha! Karena itu aku ditempatkan di atas kalian!” kata Muti menyombongkan diri.

Mutiara yang lain muak dengan kesombongannya dan berkata, “Apabila dirimu yang terbaik dan terindah, seharusnya kau tidak ditempatkan di sana! Melainkan di situ!” katanya sambil menunjuk puncak mahkota sang raja.

Alangkah terkejutnya Muti melihat Tiara telah berstana di puncak mahkota raja.

“Bagaimana bisa? Bukankah ia diberikan kepada seorang kuli?” Muti bertanya-tanya.

“Wahai, rakyatku! Terimakasih kalian telah hadir di istanaku ini. Saat ini aku telah mengenakan Mahkota baruku sebagai simbol kejayaan negeri kita saat ini. Kalian tentu bertanya-tanya, mengapa berstana sebuah mutiara kecil nan cantik ini di puncak mahkotaku. Ini bukanlah mutiara yang terindah di kerajaan ini, karena itu ia tidak ditempatkan di tempat yang tertinggi di sana. Tetapi wahai rakyatku, aku terkesan dengan mutiara ini. Mutiara ini telah membuat gempar rakyatku dari kalangan bawah. Konon katanya, mutiara ini telah memberikan keberuntungan bagi seorang kuli sehingga mendapatkan kemakmuran. Konon katanya pula, ia telah menularkan keberuntungannya tersebut kepada beberapa manik-manik perak yang telah tersebar. Bersyukurlah engkau yang telah memiliki salah satu di antara mereka. Aku menstanakan mutiara ini sebagai simbol penghargaan terhadap apa yang telah ia sebabkan, dan merupakan sebuah simbol bagi keberuntungan kerajaan ini. Mutiara ini telah mengubah perak-perak berharga layaknya mutiara dan dengan ini aku mengharapkan segala kemakmuran untuk kerajaan dan rakyatku,” kata-kata sang raja kepada rakyatnya.

Kisah ini ditutup dengan rasa syukur yang amat sangat dari Tiara, sebuah mutiara yang telah mengusahakan yang terbaik. Meski hanya doa yang dapat ia ucapkan, tetapi itu jauh lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa. Dengan ini, mutiara telah mengubah manik-manik perak menjadi mutiara pula.

Apabila ada peribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga” maka dengan berakhirnya kisah ini ada pula peribahasa “karena gula sesendok, manis susu sebelanga”.

Singaraja, 30 Juni 2015
oleh Putu Amarta Sadwika Sukma
diposting pertama kali
Ilustrasi (gambar) oleh http://spiritualkalimantan.indonetwork.co.id 

*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Children's and Teens' Diary) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 PASS-ON. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Blogger Showcase