Dikisahkan seorang saudagar kaya memiliki dua buah
mutiara yang sangat indah. Mutiara-mutiara tersebut disimpannya di dalam sebuah
kotak mutiara mewah beralaskan bantal yang halus dan empuk. Kedua mutiara itu
menikmati hari-hari mereka bersama di tempat yang sangat nyaman, penuh
kebanggaan, dan segala perhatian. Karena keindahannya, mutiara-mutiara tersebut
dipamerkan di depan rumah sang saudagar dengan dilindungi wadah kaca sehingga
siapapun yang lewat di depan rumah sang saudagar akan terkesima melihat
mutiara-mutiara itu.
Suatu hari, sang saudagar pergi ke kota lain untuk
membawa beberapa barang dan perhiasan yang hendak dijual. Kedua mutiara
kesayangannya itu pun turut dibawanya. Di tengah perjalanan, kedua mutiara itu
berbincang-bincang.
“Hey, Muti. Apakah kita akan dijual oleh sang
saudagar?” tanya mutiara yang satunya.
“Entahlah, Tiara. Semoga saja tidak. Aku tidak mau
keluar dari tempat kita yang nyaman dan mewah ini,” kata Muti, mutiara yang
lain sambil meloncat-loncat di bantal empuk mereka.
“Aku takut, Muti. Bagaimana kalau nanti kita dibeli
oleh orang miskin atau orang kumal. Aku tidak mau diperlakukan buruk oleh
mereka.”
“Hey…hey! Kalian tidak usah takut!” kata sang
saudagar sambil mengelus-elus mereka seakan-akan ia bisa mendengar perbincangan
kedua mutiara itu tadi.
“Kalian tidak akan pernah kujual. Kalian sudah
kuanggap seperti nyawaku sendiri,” kata sang saudagar.
Mendengar kata-kata tersebut kedua mutiara itu
sangat senang dan tenang.
Namun tiba-tiba, di tengah perjalanan kereta sang
saudagar terperosok ke sebuah jurang. Kereta sang saudagar telah jatuh, namun
sang saudagar masih bisa bertahan di tepian dengan bergantung pada kedua
tangannya. Sementara itu, kedua mutiara pun masih selamat di tepian jurang di
dalam kotak mereka.
“Tolooong! Tolong! Oh Tuhan! Selamatkanlah aku!”
teriak sang saudagar meminta tolong. Yang ia butuhkan sekarang adalah seseorang
untuk menariknya ke atas. Tetapi tak seorang pun melintas di jalan itu. Kedua
mutiara kesayangan sang saudagar pun nampak ikut bersedih.
“Bagaimana menurutmu? Apa yang harus kita lakukan?”
kata Tiara.
“Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Kita ini
mutiara. Mutiara itu perhiasan. Memang apa yang bisaa kita lakukan?” kata Muti.
“Oh Tuhan! Aku hanya bisa berdoa. Selamatkanlah
nyawa sang saudagar!” kata Tiara dalam doa.
“Apakah kau sudah gila? Manusia saja tidak pernah
mendengarkan kata-kata kita. Apa yang kau harapkan dari Tuhan?” kata Muti tidak
percaya.
Saat itu juga, lewatlah seorang kuli yang hendak
pulang ke rumahnya. Mendengar teriakan minta tolong dari sang saudagar, kuli
itu pun menghampirinya dan menariknya ke atas.
“Terimakasih, Tuan. Kau telah menyelamatkan nyawaku,”
kata sang saudagar setengah bersujud di depan kuli itu.
“Jangan berkata seperti itu, Tuan. Aku hanyalah
seorang kuli yang kebetulan lewat,” kata sang kuli dengan rendah hati.
“Aku pernah berkata bahwa kedua mutiaraku ini adalah
nyawaku. Kau telah menyelamatkan nyawaku kali ini. Ambillah salah satu dari
mereka,” kata sang saudagar.
Mendengar kata-kata sang saudagar mutiara-mutiara
itu panik.
“Apa???!! Aku tidak mau! Aku tidak mau diambil oleh
kuli yang kumal itu! Kotor!! Jijik!” kata Muti.
“Aku pun takut, Muti,” kata Tiara.
“Ini semua salahmu! Kau yang mengundang orang itu ke
sini kan? Jadi, kau yang harus ikut dengan dia!” kata Muti dengan nada
meninggi.
“Baiklah, Tuan. Aku menerima pemberianmu ini bukan
sebagai imbalan, melainkan sebuah berkat bagiku. Aku akan mengambil yang ini,”
kata sang kuli sambil mengambil salah satu dari mereka, Tiara.
Muti pun merasa tenang dan senang karena ia tidak
harus pergi dari kotaknya yang nyaman dan mewah. Sementara itu, Tiara terlihat
ketakutan. Tangan kotor sang kuli mengelusnya. Ia pun dimasukkan ke dalam sebuah
kantong yang kumal dan bau.
Sesampainya di rumah sang kuli, Tiara ditempatkan di
sebuah kotak kecil bersama beberapa manik-manik dari perak. Kotak itu sangat
berbeda dibandingkan kotak yang ia tempati sebelumnya. Pada awalnya Tiara
memang sangat sedih, namun teman-temannya, manik-manik perak selalu
menghiburnya.
“Oh Tuhan, mengapa ini terjadi padaku? Apa salahku?
Semoga berkat dan restumu selalu menjadikan semua ini yang terbaik,” doa Tiara
di setiap harinya.
Tuhan sepertinya tidak mengabulkan doa Tiara secara
langsung. Berhari-hari ia tetap berdiam di dalam kotak itu bersama beberapa
manik-manik perak.
“Sudahlah! Kami tau kau adalah mutiara, berbeda
dengan kami yang hanya manik-manik. Tolong terima tempat ini sebagai rumahmu,
dan kami sebagai keluargamu sekarang,” kata salah satu manik-manik. Lambat
laun, Tiara mulai menerima kondisinya saat ini. Ia lebih banyak bersyukur dan
selalu memohonkan yang terbaik, bagi teman-temannya di sana dan bagi sang kuli
yang telah menyediakannya tempat.
Suatu hari, sang kuli pergi bekerja dan membawa
Tiara yang ingin ia perlihatkan kepada teman-temannya. Di tengah perjalanan,
tiba-tiba sang kuli merasa kelaparan. Tidak biasanya sang kuli merasa seperti
itu, sampai-sampai ia tak mampu melanjutkan perjalanannya. Menyadari sang kuli
kelaparan, Tiara merasa sedih.
“Oh Tuhan! Tolonglah sang kuli. Kasihan dia
kelaparan,” doa Tiara.
Tiba-tiba sang kuli melihat sebuah pohon manga di
depannya lengkap dengan buahnya yang matang. Sang kuli pun langsung memetik mangga-mangga
tersebut dan memakannya. Sang kuli akhirnya kenyang dan melanjutkan perjalanannya.
Sesampainya di tempat bekerja, belum sempat ia
memperlihatkan Tiara, majikan sang kuli memanggilnya. Sang majikan terlihat
seram dan galak. Sang kuli takut kalau hari itu ia akan dipecat.
“Oh Tuhan! Jangan biarkan Tuan ini memecat sang
kuli. Kasihan dia tidak dapat bekerja lagi,” doa Tiara.
Ternyata, sang majikan memperhatikan kerja sang kuli
yang sangat bagus. Sang kuli pun diberikan bonus beberapa keping koin emas.
Raut muka sang kuli langsung berubah bahagia. Saking bahagianya, sang kuli lupa
memperlihatkan Tiara kepada teman-temannya.
Sore pun menjelang, waktunya sang kuli untuk pulang
ke rumahnya. Seakan-akan keberuntungan tengah menyelimuti sang kuli, di tengah
perjalanan ia menemukan sebuah kantong yang cukup besar. Kantong tersebut
berisi banyak sekali emas dan tergeletak begitu saja di tengah jalan. Di dalamnya
terdapat tulisan, “Terimalah ini sebagai berkat, bukan sekedar pemberian”. Sang
kuli pun membawa kantong tersebut ke rumahnya.
“Ini pasti karena aku membawamu hari ini,” kata sang
kuli sambil menatap dalam Tiara. “Kaulah mutiara keberuntungan.”
Sang kuli meletakkan kembali Tiara ke kotaknya
bersama teman-temannya. Namun, kali ini sang kuli memperlakukannya spesial.
Sang kuli membersihkan dan menghias kotak tersebut. Manik-manik peraknya pun
turut dibersihkan. Kemudian mereka diletakkan kembali ke kotak yang sudah
dihias tersebut dengan Tiara diletakkan di atas manik-manik perak yang lain.
Saking gembiranya, sang kuli pun memamerkan mutiara
lengkap dengan manik-manik dan kotaknya itu di depan rumah barunya yang mewah. “Inilah
mutiara keberuntunganku” itu yang tertulis di luar kotak kaca. Orang-orang
berbondong-bondong untuk melihat mutiara keberuntungan itu. Banyak yang
terpukau dan ingin membelinya. Tidak hanya Tiara yang bangga, manik-manik
lainnya pun ikut bangga karena mereka pun merasa diperhatikan.
“Terimakasih, Tiara! Berkatmu kami bisa diperlakukan
lebih baik sekarang. Kami sangat senang!” ungkap manik-manik perak kepada
Tiara.
“Aku tidak akan menjual mutiara itu kepada kalian.
Namun, kalian dapat membeli beberapa manik-manik perak itu. Mereka kutempatkan
di tempat yang sama, mereka saling bersentuhan, dan dengan itu kuharapkan
mereka turut memberikan keberuntungan kepada kalian,” kata sang kuli kepada
orang-orang yang ingin membeli Tiara.
Mendengar kata-kata sang kuli, manik-manik perak
bersorak senang. Mereka merasa begitu dihargai. Akhirnya setelah sekian lama
mereka diletakkan di tempat yang gelap dan kotor, hari ini mereka diperlakukan
begitu istimewa. Itu semua berkat Tiara si mutiara.
Lama tak mendengar kabar Muti, mutiara yang lain, ia
tetap bersandar nyaman di kotak mewahnya. Suatu ketika, sang saudagar
membawanya ke istana untuk mengikuti sebuah pameran yang diadakan sang raja.
Muti pun merasa senang dan bangga, namun tak lama menjadi angkuh setelah ia ditempatkan
di tempat yang lebih tinggi.
“Akulah yang terbaik! Akulah yang terindah!
Hahahaha! Karena itu aku ditempatkan di atas kalian!” kata Muti menyombongkan diri.
Mutiara yang lain muak dengan kesombongannya dan
berkata, “Apabila dirimu yang terbaik dan terindah, seharusnya kau tidak
ditempatkan di sana! Melainkan di situ!” katanya sambil menunjuk puncak mahkota
sang raja.
Alangkah terkejutnya Muti melihat Tiara telah
berstana di puncak mahkota raja.
“Bagaimana bisa? Bukankah ia diberikan kepada
seorang kuli?” Muti bertanya-tanya.
“Wahai, rakyatku! Terimakasih kalian telah hadir di
istanaku ini. Saat ini aku telah mengenakan Mahkota baruku sebagai simbol kejayaan
negeri kita saat ini. Kalian tentu bertanya-tanya, mengapa berstana sebuah
mutiara kecil nan cantik ini di puncak mahkotaku. Ini bukanlah mutiara yang
terindah di kerajaan ini, karena itu ia tidak ditempatkan di tempat yang
tertinggi di sana. Tetapi wahai rakyatku, aku terkesan dengan mutiara ini.
Mutiara ini telah membuat gempar rakyatku dari kalangan bawah. Konon katanya,
mutiara ini telah memberikan keberuntungan bagi seorang kuli sehingga
mendapatkan kemakmuran. Konon katanya pula, ia telah menularkan
keberuntungannya tersebut kepada beberapa manik-manik perak yang telah
tersebar. Bersyukurlah engkau yang telah memiliki salah satu di antara mereka. Aku
menstanakan mutiara ini sebagai simbol penghargaan terhadap apa yang telah ia
sebabkan, dan merupakan sebuah simbol bagi keberuntungan kerajaan ini. Mutiara
ini telah mengubah perak-perak berharga layaknya mutiara dan dengan ini aku
mengharapkan segala kemakmuran untuk kerajaan dan rakyatku,” kata-kata sang raja
kepada rakyatnya.
Kisah ini ditutup dengan rasa syukur yang amat
sangat dari Tiara, sebuah mutiara yang telah mengusahakan yang terbaik. Meski
hanya doa yang dapat ia ucapkan, tetapi itu jauh lebih baik daripada tidak
berbuat apa-apa. Dengan ini, mutiara telah mengubah manik-manik perak menjadi
mutiara pula.
Apabila ada peribahasa “karena nila setitik, rusak
susu sebelanga” maka dengan berakhirnya kisah ini ada pula peribahasa “karena
gula sesendok, manis susu sebelanga”.
Singaraja, 30 Juni 2015
oleh Putu Amarta Sadwika Sukma
diposting pertama kali
Ilustrasi (gambar) oleh http://spiritualkalimantan.indonetwork.co.id
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Children's and Teens' Diary) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
0 komentar:
Posting Komentar