-Tanpa Awalan-
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
Yap, hari ini Valentine’s Day. Hari dimana orang-orang merayakan kasih dan cinta mereka. Tapi untuk gue, jujur gue bingung apa yang harus gue lakukan dengan cokelat, bunga, dan surat-menyurat dengan kata-kata manis. Cukup. Sebentar lagi, beberapa menit lagi Valentine’s Day akan berakhir dan gue belum sampai pada kata sepakat dengan sebuah cerita. Cerita? Iya, sebuah cerita pendek yang mungkin akan menutup hari kasih sayang ini. Banyak. Banyak yang sebenarnya bisa gue ceritakan tentang hari ini. Tapi jujur, gue bingung harus mulai dari mana.
Ini paragaraf kedua dan gue masih
bingung. Kira-kira hampir sebingung temen gue tadi pagi. Yep, ini Valentine
yang kelam. KEEELLAAAMM… KEELAAAAMM… sengaja gue buat bergema biar serem.
Bukan. Bukan karena gue kagak punya pacar atau sendiri atau single atau jomblo atau
untaken atau dan sekampretnya itu. Terlepas dari itu, ini memang yang terburuk.
Dimulai dari menumpuknya deadline tugas dan ulangan kampret yang siap menghajar
gue, tepatnya gue dan temen sekelas gue hari ini. Lagi-lagi jujur, ini yang bikin
gue prihatin sama anak-anak kelas gue sendiri. Ketika mereka yang di luar sana
mempersiapkan kado untuk orang-orang spesial, kami di sini bergelut dengan
tumpukan LKS dan materi ulangan. Kampret. Gue jadi berpikir dramatis, “Apakah
kami tidak pantas merasakan cinta dan kasih sayang di hari kasih sayang ini?”
Pertanyaan gue terjawab. Balik lagi ke
temen gue yang bingung tadi pagi, sebut saja Toto. Bukan. Ini bukan karena
ulangan yang akan kita hadapi dalam beberapa menit ke depan. Ini masalah
orang-orang yang punya pacar atau in relationship atau taken atau dan
sekampretnya. Jelas, ini bukan masalah orang-orang sejenis gue. Tapi rasa kemanusiaan
gue yang terbangun sejak gue ikut PMR, membuat gue menjadi orang yang peduli,
super peduli.
Gue melihat dia mencoba ngurek-ngurek
kertas loose leaf yang dekil.
“Gue mau minta maaf,” katanya.
Nggak. Dia nggak minta maaf ke gue.
Lagi-lagi gue harus bilang, ini adalah masalah bagi mereka yang punya pacar,
sedangkan gue tidak. Bertengkar. Mereka bertengkar dari kemarin. Asalkan kalian
tahu, gue bangga bisa jadi kompor yang bikin panas hubungan mereka. WUAHAHAHAA!
*ketawa setan*. Tapi di balik semua itu, gue juga ingin jadi embun pagi yang
sejuk untuk mereka. Cling cliling cliliing… *bunyi pengiring malaikat*
“Lu mau minta maaf pakai surat terus lu
nulisnya di kertas dekil itu?” tanya gue.
“Mau gimana lagi?” dia balas pertanyaan
gue dengan polosnya.
“Geblek! Itu dekil gitu mau lu kasi ke
cewe lu? Kampret. Ntar gue cariin kertas warna,” kata gue sambil nabok jidat
gue.
Entah kenapa gue jadi ikutan repot dan
ini malah bikin gue ikutan bingung. Dimana gue bisa dapet kertas warna?
Pertanyaan gue terjawab di meja Susan, temen gue yang di mejanya penuh dengan
origami merpati. Gue jadi punya ide. Cling! Gue dapetin tu kertas origami yang
sudah jadi merpati. Siaplah sudah!
Sekarang gue kembali ke meja gue dan
dengan deg-degan gue melihat Toto menuliskan kata-kata maafnya. *Blablablaba*
gak penting apa isinya. Gue sebenernya gak terlalu peduli sampai dia nulis satu
kata yang bener-bener bikin gue berpikir Toto bukan temen gue. Dia mencoba
menulis “Selamat Hari Valentine” dengan bahasa asing, yaitu “Happy Valentine’s
Day”. Yang dia tulis adalah HAA…
“Stop! ‘Happy’ itu yang double “P” nya,
coeg! Lu mau nulis apaan??!!” kata gue menghentikan gerakan tangannya.
“Oiya.. Wahhahahaaa… Iya…iya,” dia
malah ketawa. Polos. Gue, nabok jidat lagi. Sejenak gue berpikir, Toto yang
sebegitu polosnya bisa merayakan Valentine’s Day-nya dengan sang pacar walaupun
pasti bakal berantakan. Sedangkan gue yang secara teoritis lebih pinter dalam
urusan cewe dan percintaan, malah sendiri. Mungkin ini yang orang-orang bilang
kalau cinta itu gak perlu teori. Cinta adalah salah satu cabang ilmu praktis,
harus praktek. Mungkin kalau gue ada di posisi Toto, gue bakal lebih geblek
daripada dia. Mungkin gue gak bakal bisa ngapa-ngapain. Teori saja tidak cukup
jika ingin mengarungi sebuah cinta. Aseeek…
Walhasil, kertas yang udah lecek karena
bekas lipatan origami merpati tadi malah diperburuk dengan tulisan yang numpuk
(a+p). Selanjutnya, tinggal lipat kembali kertas itu menjadi origami merpati
dan berikan bersama sebungkus cokelat yang sudah dipersiapkan. Dengan itu,
pasti pintu maaf akan dibukakan untuk Toto. Secara teoritis, ini pasti
berhasil. Memang sepertinya begitu sampai akhirnya kami sadar satu hal.
“Nah, To. Sekarang tinggal lipet lagi
jadi merpati,” kata gue lega.
“Lah, Ka, gue kagak bisa buat merpati,”
katanya polos.
“Kampreet… Gue juga kagak bisa… Lah
kenapa tadi lu buka?,” kata gue dengan tingkat gawat yang semakin tinggi.
“Kalau gak dibuka, gimana caranya
nulis,” katanya muka datar.
Entah kenapa gue jadi lebih gawat dari
Toto sendiri. Cling! Ide gue melintas di sela-sela pacuan teori cinta gue. Gue
kembali ke meja Susan untuk memecahkan masalah ini.
“Gue juga kagak bisaaa,” kata Susan
dengan tingkat gawat yang meningkat pula. Biar gue perkenalkan. Susan juga
adalah kompor bersama dengan gue. Di sisi lain, Susan adalah sahabat Nila, sang
kekasih pujaan Toto.
“Oke deh, gue usahain,” kata Susan
melegakan.
Sip! Cerita berlanjut ke ulangan Kimia
yang absurd binggo. Gak perlu gue ceritain, kalian bakal tau cerita orang yang
jarang masuk kelas saat menjawab ulangan. Our
chemistry is tested on the Valentine’s Day. Ya, chemistry adalah bahasa Inggrisnya kimia. Kampret. Walhasil gue
jawab ulangan ini dengan
sekampret-kampretnya kemampuan gue di bidang kimia.
Istirahat! JEDEEERRR!!! Kompor gas
meledak di kelas gue. Nila, pacar Toto, tiba-tiba mendapat sebuah cokelat dari “pihak
lain”. Cokelatnya lebih gede pula dari yang dibawa Toto. Gue paham
sekampret-kampretnya perasaan Toto. Gue paham. Hiks…hiks…
“Makan sendiri dah, yook!” kata Toto ke
gue merujuk pada cokelat yang dia bawa. Gue yakin dia frustasi. Selesai dengan
masalah origami yang udah bikin pusing setengah kampret, eh dating cobaan baru
lagi. Malang sangat hidup Toto. Gue tiada henti memberi semangat. Walaupun
perut gue udah teriak-teriak pengen makan tu cokelat kecil, tapi hati nurani
gue masih mendominasi. Yap, Toto bangkit.
Setelah tiga jam berikutnya kami
berpacu dalam English Exam, kompor gas meledak lagi. JEDEEEERRR!! Kali ini
lebih keras. JEDDEEERRRR JEDDEERRRR!! Bunga dan cokelat mendarat ke pangkuan
Nila. Satu hal, Toto gak bawa bunga sama sekali dan yang kedua lagi-lagi
masalah ukuran cokelat yang dibawa Toto. Yang bisa gue lakukan adalah terus
mensupport dan mensupport.
Sebenernya gue kagak kalah hebat
kesamber petir. Di tengah-tengah ulangan bahasa Inggris tadi, beberapa orang
cewe nyari gue ke kelas. Tapi ya… karena ulangan jadi mereka diusir. Satu hal
yang ada di pikiran gue, “Gue pasti dapet cokelat.” Ditambah lagi sorak sorai
temen-temen gue di kelas. Wahahaha, bangga! Menit-menit selanjutnya gue embat
tu soal bahasa Inggris sambil senyum-senyum sendiri. Senyum sendiri, nyaris
gila saking senengnya. Gue seperti ada di taman bunga yang indah, ditaburi
bunga-bunga, berlari ceria-ceria.
Bibir gue kembali normal saat gue
insaf. Gue baru inget ternyata gue ada janji dengan guru BK. Berarti, cewe-cewe
tadi adalah utusan dari Guru BK yang memanggil gue ke ruang BK. Pas istirahat,
itu semua benar terbukti. Nggak ada satu pun orang yang nyamperin gue bawa
bunga dan cokelat. Yang ada gue udah sampai di ruang BK dan membuat janji home
visit dengan guru BK gue.
Tidak. Penderitaan gue tidak berhenti
sampai di sana, kawan-kawan! Di kelas, gue dihina, dibully, harga diri gue
diinjak-injak. Gue gak pernah sadar kalau misalnya muka gue jelek, tapi gue
sadar kalau apa yang gue miliki pada diri gue adalah yang terbaik dari Tuhan.
Setidaknya, enak dilihat lah, bukan eneg dilihat.
“Lu lebih bagus waktu SMP dulu ya?
Lebih ganteng,” kata seorang temen cewe gue.
“Iya tuh! Iya! Eh iya dah!” cewe-cewe
yang lain ikutan nimbrung.
“Eleh… Kalian gitu. Nanti aja pas gue
udah kuliah, 3 sampai 5 tahun lagi, kalian juga bakal bilang, ‘eh lu waktu SMA
ganteng ya’. Ya kan?” itu adalah deretan kalimat yang sangat gue sesali.
Kumpulan kata-kata itu hanya jatuh pada kesimpulan bahwa gue makin hari makin
jelek. Skakmat! Gue bunuh diri.
“Ka, lu mau cokelat?” tanya satu temen
cewe gue.
Gue yang udah napsuan langsung ceplos, “Mau
dong!”
“Nih!” katanya sambil menyerahkan
bungkus cokelat kosong.
Gue ngecek, ngebolak-balik bungkusan
itu, berharap masih ada potongan cokelat kecil yang tersisa. Nihil! Gue hanya
bisa menatap bungkusan cokelat itu. Menarik satu kesimpulan sempit. Mungkin ini
satu nilai buat gue. Mungkin ini artinya gue. Artinya… kosong, nihil, bukan
apa-apa. Mungkin ini yang pantes gue terima. Gue meremas bungkusan itu dan
memasukkannya ke saku celana gue. Gue terima itu sebagai hadiah pertama gue di
hari kasih sayang ini. Kasih sayang dari sampah bungkus cokelat.
Yap, siang ini banyak dinamika
percintaan yang gue lihat. Pasangan kekasih yang saling bertukar hadiah, cowo
yang nembak diterima, cowo yang nembak digantung, cowo yang nembak ditendang,
ada juga temen-temen cewe gue yang dapet hadiah dari secret admirer mereka.
Huh! Gue hanya memandang semua itu dengan muka datar. Meratapi nasib gue yang
tengah berjalan menggendong tas ransel berat dan menjinjing tas laptop di
tangan kiri gue. Sendiri, Valentine, tanpa pasangan, dan bungkusan cokelat di
saku celana gue. Gue nyaris seperti orang kesepian idiot tanpa harapan hidup
dengan dua pasang lensa di depan muka gue dan badan gue yang kurus ini.
Kabar terbaru dari Toto, akhirnya
kertas origami perjuangan kita sia-sia. Hilang. Dan akhirnya cokelat itu
diserahkan bersama tulisan di selembar loose leaf dan diletakkan rapi di kolong
meja Lina. Itu tak menjadi masalah lagi. Bahkan gue bersedia menerima bungkusan
cokelat, apakah Lina tidak bersedia menerima hadiah kecil dari Toto yang
dibuatnya dengan kepolosan sekaligus ketulusannya itu? Mungkin apa tidak menjadi masalah. Namun siapa dan
bagaimananyalah yang terpenting. Lina pasti tak memandang berapa gram cokelat
Toto dan berapa gram cokelat yang lain. Seberapa jelek tulisan Toto dibanding
yang lain. Yang terpenting, Toto memberikannya dengan tulus, untuk Lina.
Gue berjalan tak lurus menuju madding sekolah,
dimana temen-temen bilang ada DUDU (Dari Untuk Dengan Ucapan) untuk gue. Sip.
Gue baca. Gue tertegun. Di luar sana ternyata ada yang peduli. Gue bersyukur
untuk itu.
Langkah kaki gue yang setengah
berjinjit ini menuju parker tempat motor gue beristirahat. Di motor gue, gue
melihat satu benda berwarna hijau. Origami merpati dan bintang. Kemudian gue
tahu bahwa itu bangau atau apalah, yang penting itu burung. Gue langsung
berpikir itu dari Susan. Entah kenapa. Setelah gue tanya, dugaan gue bener. Dan
setelah gue tanya maksudnya, jawabannya bikin gue bengong.
‘Satu bintang satu harapan. Merpati itu
adalah pelayan Tuhan yang akan membawakan harapanmu kepadaNya.’
Gue bengong. Diam. Ini lebih dari
potongan-potongan cokelat. Ini lebih dari sebuah boneka atau mawar apapun. Ini
adalah sebuah harapan. Itu yang gue butuhkan. Harapan. Singkat namun penuh
makna. Gue simpan satu harapan gue untuk digunakan nanti, saat gue benar-benar
perlu. Ternyata dia sepeduli itu. A wish is more than a gift. Ini telah membuka mata gue bahwa gue nggak sejelek itu,
nggak sengenes itu. Gak peduli apakah gue jomblo atau taken, gue masih punya
orang-orang dengan kasih sayang mereka.
Keluarga. Akhirnya gue dan keluarga gue
bikin acara makan-makan mendadak sambil jalan-jalan. Malam ini gue habiskan
bersama adik, ibu, bapak, dan nenek gue. Sampai akhirnya gue duduk di depan
meja dan menulis cerita ini. Mungkin ini
makna Valentine yang sebenarnya. Dimana kami yang sudah terikat erat, saling
memberi doa dan harapan. Karena cinta dan kasih yang sesungguhnya adalah
doa dan harapan akan kesempatan.
Terimakasih, Susan!
Putu Amarta Sadwika Sukma
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
1 komentar:
One star, one wish.
Posting Komentar