Kamis, 11 Desember 2014

Cempaka Terakhir

Hi, readers! Bahkan masa kanak-kanak pun akan mengukir cerita baru di masa kini. "Cempaka Terakhir" adalah sebuah cerita pendek karya Amarta Sadwika Sukma, Putu yang sesuai dengan kalimat pembuka tersebut. Dengan kesan yang berbeda dari cerpen-cerpen sebelumnya, cerita ini didominasi dengan sudut pandang "dia-an". Bagi yang punya masa lalu dan sekarang sedang bertemu "masa lalu"nya, bahkan dari TK pun, wajib membaca cerpen ini. Oke, langsung saja klik Judul Posting atau "Lanjut Baca"

*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!

Dan aku telah melihat temanku tewas berlumuran darah. Sungguh tragedi yang sangat tragis. Luka parah yang dialaminya di kepala dan nyaris sekujur tubuhnya membuatku hampir tak dapat mengenalinya. Tunggu, tak jauh dari jazadnya yang hangat, tergeletak juga sosok perempuan yang sepertinya aku kenal. Aku pun memeriksa keadaannya. Tidak bernafas. Nadinya pun tak berdenyut lagi. Dari lehernya yang kebiruan, kuduga ia mengalami patah tulang leher. Dan tragedi ini telah menewaskan dua temanku. Laki-laki dan perempuan.

Mendengar sirine polisi yang mendekat, aku hendak menjauhi lokasi itu. Selanjutnya adalah tugas mereka. Cukup. Aku sudah mendapati teman-temanku pergi dengan tragis. Tak mau lagi aku diperberat dengan hal-hal lain sebagai saksi. Sembari melangkahkan kakiku keluar, aku menatapi wajah mereka. Melihat kondisi mereka. Sekali lagi. Dan di pandanganku yang terakhir, aku melihat satu hal yang membuatku berhenti melangkahkan kaki. Aku bertanya-tanya di dalam kesunyian pikiranku. Ya Tuhan, apakah ini hanya kebetulan? Apakah keberadaan benda itu hanya kebetulan?

---///---

Kriiiing! Bel tanda istirahat berbunyi. Inilah sebuah taman kanak-kanak dengan puluhan anak-anak yang berlari ceria. Tawa lepas terdengar di setiap sudut halamannya. Suara tangis pun kadang terdengar dan merepotkan para guru pembimbing. Bermain prosotan dan ayunan yang bergerak harmonik diselingi bunyi berdecit besi berkarat. Itu dia sebuah permainan tangga berbentuk bulat seperti globe. Mengundang anak-anak yang berani untuk memanjat dan mencapai puncaknya. Semakin tinggi mereka memanjat, semakin khawatir guru-guru memperhatikannya.

Di tengah canda tawa mereka, tepat di dasar tangga globe itu, seorang anak laki-laki menikmati dunianya yang berbeda. Tak seperti anak laki-laki lain yang senang menguji nyali mereka, ia malah menganggap permainan itu seperti sebuah rumah. Bersama dua orang anak perempuan yang lain, ia bermain rumah-rumahan. Lebih jauh lagi masuk ke dunia bermainnya, ia telah menganggap dirinya sendiri sebagai seorang ayah dan dua orang temannya itu masing-masing sebagai ibu dan anak perempuan. Sebuah keluarga kecil yang bahagia di benak anak-anak taman kanak-kanak. Jauh dari pertengkaran, tanpa perselisihan. Hanya ada tawa, senang, dan kebebasan.

Satu penutup cerita untuk pagi itu terjadi di depan kelas A. Terlihat seorang anak laki-laki yang sedang berbicara dengan teman perempuannya. Ya! Itu adalah anak yang tadi. Bukan sebuah pembicaraan yang serius. Walaupun begitu, burung-burung kertas yang bergantungan di jendela pun tahu bahwa itu akan menjadi awal sebuah cerita. Sebuah awal kadang tak mesti seserius cerita intinya. Sebuah awal bahkan tak akan memandang bagaimana akhir akan terjadi. Dan itulah sebuah awal. Mengalir bebas seperti udara segar di pegunungan.

Tangannya yang mungil itu kemudian bergerak ke telinganya. Ternyata ia hendak mengambil bunga cempaka yang sedang ia kenakan dari tadi. Menggambarkan seorang anak yang taat bersembahyang meskipun belum tahu apa sebenarnya maknanya. Tangannya yang sedang menggenggam cempaka putih itu pun bergerak mendekati teman perempuannya. Dari gerak-gerik mereka, mungkin apa yang mereka bicarakan bisa ditebak.

“Ini untuk kamu,” ucap si anak laki-laki sambil memberikan bunga cempaka putih itu.

“Ini apa?” tanya si anak perempuan dengan polosnya.

“Ini namanya cempaka. Aku pakai ini setiap hari. Ambil aja,” ucap si anak laki-laki lalu beranjak pergi. Tak ada yang tahu apa sebenarnya alasan anak laki-laki itu memberikan bunga cempaka putih kepada teman perempuannya. Bahkan gumpalan plastisin di atas meja pun seakan bertanya akan kesaksian bisunya.

Hari demi hari berlanjut seiring cempaka demi cempaka berpindah tangan di halaman taman kanak-kanak itu. “Cempaka?” tanya anak perempuan di dalam hatinya. Harum baunya seakan telah menarik anak perempuan itu ke sebuah dunia baru. Dengan lugunya ia menghampiri mamanya dan meminta sebuah pohon cempaka tumbuh di halaman rumahnya. Permintaan polos dari seorang anak berusia kurang dari lima tahun itu pun dengan mudah dipenuhi. Akhirnya, tumbuh sebuah pohon cempaka kuning di halaman rumah itu tanpa memutus tradisi cempaka putih di taman kanak-kanak.

Tak ada yang abadi. Bahkan cempaka pun layu dalam setengah hari. Tradisi cempaka putih pun kelihatannya sudah berakhir. Entah kapan. Namun anak-anak itu sepertinya sudah sangat siap untuk mengenakan seragam putih merah mereka. Mungkin tradisi cempaka putih harus menutup harinya di saat yang bernama perpisahan. Seakan tak ada yang berhenti, seakan tak ada yang berpisah. Bebas. Tanpa ada tangis sedih yang mengiringi, tanpa ada beban kenangan yang menahan. Dan mereka, anak-anak taman kanak-kanak itu, melanjutkan perjalanan hidup ke sekolah dasar yang berbeda-beda. Mengikuti asa, meraih cita-cita.

Masa kanak-kanak tak bertahan lama. Dan seperti pohon cempaka yang tumbuh membesar di halaman, anak-anak itu pun tumbuh dan berkembang. Artha dan Indi adalah mereka yang tumbuh. Alam semesta mengembang, begitu pula jarak antar partikel menjauh. Artha dan Indi kini sedang dalam perjalanan melupakan masa-masa kecil mereka. Kenangan lama itu sedikit-sedikit tergusur materi pembelajaran yang kian menumpuk. Artha melanjutkan sekolahnya ke sekolah negeri, sedangkan Indi ke sekolah swasta. Perbedaan pun berlangsung bertahun-tahun dan mendukung otak mereka menghapus kenangan di taman kanak-kanak itu. Untuk saat itu, mungkin mereka telah lupa apapun tentang cempaka putih.

Tahun demi tahun pun berlalu, Indi kehilangan pohon cempaka kuningnya dan Artha kehilangan pohon cempaka putihnya. Tak satupun dari mereka yang sadar akan arti kehilangan itu. Namun angin telah menunjukkan kuasanya. Perahu kehidupan Indi dan Artha kembali dipertemukan. Tatapan mata yang pernah bertemu sepuluh tahun lalu itu pun kembali dipertemukan. Dengan seragam putih abu mereka, tak satupun yang mengingat tentang satu hal yang mempersatukan mereka dulu. Cempaka.

Seberapa lupa pun kita akan sesuatu, satu hal saja mungkin bisa memanggil ingatan itu kembali. Dan itu terjadi pada Indi. Ia bingung dengan sikap Artha akhir-akhir ini. Artha sering menggodanya dengan skenario yang ia buat sendiri. Mirip seperti anak-anak yang bermain rumah-rumahan di taman kanak-kanak, namun kesannya tentu berbeda jika yang memainkannya kini telah berumur 16 tahun. Dengan kawat yang ia temukan di lantai, Artha membuat sebuah cincin dan seolah-olah hendak melamar Indi. Dengan bunga yang berasal dari vas, Artha berlutut dan memberikannya kepada Indi. Bercanda. Satu kata yang pas untuk menggambarkan situasi saat itu. Di tengah tugas-tugas yang kian menumpuk, satu selingan sangat berguna untuk menyegarkan otak.

Bercanda. Jika berlebihan, maka kesalahpahaman pun akan mengikuti. Mungkin ada keseriusan di sana. Mungkin ada tatapan mata yang mencapai sudut yang pas. Mungkin. Tapi bunga vas itu telah memanggil kembali sebuah ingatan. Indi mengingat sesuatu. Indi mengingat pohon cempaka yang pernah tumbuh di halaman. Indi mengingat teman laki-lakinya yang pertama kali memberinya bunga cempaka. Artha.

“Cempaka,” ucap Indi dengan tatapan dalam sejenak membuat Artha diam kebingungan.

“Cempaka?” tanya Artha di tengah kebingungannya.

“Iya. Masa kau lupa? Kau kasi aku cempaka waktu TK. Inget?” ucap Indi dengan polosnya mengutarakan apa yang ia ingat.

“Waktu TK? Mana aku inget. Gila! Udah lama kali. Masa aku pernah ngasi kau cempaka?” kata Artha sambil berusaha mengingat-ingat.

Itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Dan akhirnya mereka berdua berhasil mengingat lagi apa yang terjadi saat itu. Sekarang semuanya terasa berbeda. Terlalu banyak kenangan di masa lalu yang terpikirkan kembali. Sedikit demi sedikit kenangan tersebut berubah menjadi harapan. Seperti sebuah harapan untuk dapat mengulang masa lalu.

“Mungkin cempaka itu seperti petunjuk,” kata Artha kepada temannya, Sadhu.

“Hah? Wahahahaha! Yang benar saja kau ini! Cempaka ya cempaka. Lagipula itu udah 10 tahun yang lalu kan? Apa yang bikin kau yakin? Mana mungkin dia suka sama kau.”

“Entahlah,” kata Artha sambil menghela nafas.

Di tempat lain, Indi pun bingung. Tak tahu apa yang harus ia lakukan dengan ingatan itu.

“Ciaaah! Kenangan TK?! Wahahahaha! Dasar cempaka! Ada-ada aja,” kata Hani meledek Indi.

“Hhmm… Iya iya,” jawaban singkat Indi namun penuh tanya di dalam benaknya.

Artha dan Indi, mereka berdua mendapat ejekan yang sama. Keengganan muncul terutama Artha untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya saat ini ia rasakan. Ia tak tahu mengapa ia melakukan hal itu saat TK dulu. Yang ia tahu masa kecilnya telah berbuat yang terbaik untuk masa sekarangnya ini. Sore itu Artha menceritakan semuanya kepada Sadhu. Apa yang pernah terjadi, apa yang pernah ia lakukan, apa yang akan ia lakukan, dan apa yang ia harap akan terjadi. Semuanya telah diketahui Sadhu lewat telepon.

“Terus?” kata Sadhu menanggapi cerita Artha.

“Kayaknya sekarang waktu yang tepat, Dhu,” jawab Artha.

“Sekarang? Besok aja kau tembak langsung. Kalau diterima ya syukur, kalau nggak ya syukurin… hahahaha!” ejek Sadhu lagi.

“Tapi menurutku, sekarang waktunya,” ucap Artha.

“Ya udah. Kau chat aja. Beres kan?”

“Tidak.”

“Terus?” Sadhu bingung dengan sikap temannya itu.

“Kalau nembak langsung aku gak siap. Sekarang aku ke rumahnya bawa surat sama bunga cempaka,” kata Sadhu mengutarakan idenya.

“Surat? Kayak tukang pos aja. Terserah lah… Aku tak mau tau tentang ide gilamu itu.”

Sementara hari semakin malam, Indi kehilangan beberapa lembar doublefolio yang harus dibawanya esok hari saat kemah. Itu memaksanya untuk keluar rumah dan membeli beberapa lembar doublefolio di toko buku yang cukup jauh dari rumahnya. Indi pun memacu sepeda motornya dengan kecepatan penuh.

Artha dengan kebulatan tekadnya pun memacu sepeda motornya ke arah rumah Indi. Dengan sebuah surat dan bunga cempaka kuning di genggamannya, Artha begitu bersemangat mengendarai sepeda motornya. Ia merasa begitu senang, bercampur dengan rasa takut, serta setengah rasa tidak percaya. Artha mulai membayangkan reaksi Indi nantinya. Bayangan yang tak akan pernah terselesaikan dan tak akan pernah terjadi.

Tepat di depan gedung taman kanak-kanak yang sudah dibumiratakan, Artha tergeletak tak bernyawa. Begitu pula Indi yang telah menghembuskan nafas terakhirnya. Sekuntum bunga cempaka kuning pun terlepas dari genggaman Artha. Itulah yang membuatku menghentikan langkahku untuk sesaat. Melihat posisi mereka seakan-akan Artha tengah memberikan cempaka itu kepada Indi. Posisi tangan Artha seolah memberi, posisi tangan Indi seolah menerima, dan cempaka itu tepat berada di tengah-tengahnya. Aku memutuskan untuk mengambil cempaka itu dan membawanya ke tempat yang aman. Sekarang aku mengerti arti cempaka ini bagi mereka. Bagi kalian yang belum tahu, akulah Sadhu. Dan aku menyesal telah menjadi Sadhu yang meledek Artha dan Indi. Cempaka dan surat yang aku ambil tadi kuserahkan kepada Indi di hari pemakamannya. Surat yang tak pernah kuketahui isinya itu pun turut terkubur bersama Indi. Begitu pula dengan cempaka terakhir yang diberikan Artha untuk Indi.

Artha, Indi, dan cempaka itu telah mengajarkanku sesuatu. Mungkin apa yang kita perbuat di masa lalu membuka jalan baru di masa kini atau di masa yang akan datang. Mungkin tak selamanya melupakan masa lalu itu menjadi hal yang baik. Mungkin cinta telah mengetahui waktu dan tempat yang tepat bagi dirinya. Dan cempaka terakhir ini khusus mengajarkanku, bahwa tak ada satu pun yang abadi. Seperti bunga-bunga cempaka yang layu setelah setengah hari, kisah cinta pun harus berakhir di sini. Selamat tinggal Artha! Selamat tinggal Indi!

Karya: Putu Amarta Sadwika Sukma

*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 PASS-ON. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Blogger Showcase