Jumat, 19 September 2014

Cinta dan Mungkin Perpisahan

Hi, readers! Setelah mendapat respon positif dari cerpen Cerita di Atas Sepeda (CERDAS), Amarta Sadwika Sukma kembali berkarya dengan cerpennya yang berudul "Cinta dan Mungkin Perpisahan" (CDMP). Cerpen yang berbeda dari cerpen-cerpen sebelumnya. Dengan sudut pandang aku-kamu-an, cerpen ini akan membuat kita sadar inilah akibatnya jika terlalu takut mengungkapkan perasaan. Yang udah gak sabar baca, silahkan klik judul posting atau "lanjut baca". Selamat membaca!

*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
Hai, Nin! Apa kabar? Syukurlah, akhirnya tulisan ini sempat kau baca. Semoga kau masih benar-benar ingat siapa aku sebenarnya. Aku teman se-SMAmu. Kita juga satu sekolah saat SD dan SMP dulu. Aku berkacamata, banyak bicara, dan yang jelas aku laki-laki. Saat kelas XII, aku duduk di sudut belakang dekat jendela. Sungguh, dari tempatku duduk saat itu, aku bisa memandangimu dengan puas setiap harinya. Mungkin kau mengenalku sebagai laki-laki kurus dan sedikit gila di kelas. Atau mungkin, kau memang benar-benar telah melupakanku. Percuma menjelaskan semuanya padamu. Aku hanya seorang figuran di dalam kehidupanmu yang luas itu. Lagi pula, terakhir kali kita bertemu, itu sudah 9 tahun yang lalu. Tapi setidaknya, aku mohon jangan berhenti membaca tulisan ini sampai kau selesai membaca kata terakhirnya.

Sepertinya langit Singapura cerah hari ini. Dan saat seperti ini adalah saat yang sangat tepat bagiku untuk menulis. Sesungguhnya kata demi kata yang kau baca saat ini sudah terlintas di pikiranku sejak lama. Namun menurutku, saat ini adalah saat yang tepat untuk menyampaikan semuanya padamu. Aku takut. Jika aku terus menunda, aku akan kehabisan waktu. Dan tulisan ini, tidak akan pernah sampai di tanganmu.

Mengingat masa-masa SMP dan SMA seperti ini membuatku tidak mampu menahan senyum sekaligus rasa menyesal di dalam diriku. Apakah kau masih ingat bagaimana aku menjodoh-jodohkanmu sejak SMP dulu? Bahkan Deni, pacar pertamamu saat SMA dulu juga aku yang mengenalkan dan memasangkannya denganmu. Setelah Deni, Septian, Dino, Putra, dan Sadhu juga akhirnya pernah menjadi pacarmu meskipun tidak bersamaan. Wahwah… setelah membaca nama mantan-mantanmu yang banyak itu, aku yakin kau tidak akan bisa menahan senyummu di hadapan kertas ini.

Bukannya aku membesar-besarkan peranku, tetapi jika aku tidak sesering itu menggodamu dengan dia-dia itu, kalian tidak akan pernah sadar dan mungkin kalian tidak akan pernah berpacaran. Aku selalu mendukung hubunganmu dengan siapapun karena siapapun yang telah kau pilih, pasti sudah berbekal kepercayaan darimu bahwa dialah yang terbaik. Setiap kali kau putus, aku selalu mendukungmu untuk move on lebih cepat. Dan setiap kali kau merajut hubungan yang baru, aku pasti mendukungnya dengan sebisaku. Kau ingat? Aku selalu memberikanmu kesempatan dengan siapapun dia. Aku selalu berusaha mencegah kalian putus. Dan intinya, aku selalu ingin melihatmu tersenyum dengan siapapun dia.

Oh iya, jika kau sempat, tolong sampaikan permintaan maafku pada Dino sekali lagi karena aku telah memukulinya saat SMA dulu. Lagipula ia sudah berbuat salah karena membuatmu menangis saat itu. Teman-teman memang tidak peduli dengan setiap tetes air mata yang jatuh dari matamu dan seakan-akan tak pernah ikhlas melihat senyum yang terukir di wajahmu. Tapi aku, apakah aku terlalu peduli denganmu?  Apakah aku terlalu peduli padamu sampai aku melupakan diriku sendiri?

Tidakkah kau sadar ada yang aneh dengan sikapku itu? Tidakkah kau pernah bertanya-tanya mengapa aku melakukan semua itu? Kau pernah menasehati banyak orang untuk peka terhadap tingkah laku orang lain. Kau juga pernah menuduh orang lain tak berantena karena tak bisa menangkap sinyal-sinyal orang lain. Tapi sesungguhnya, kaulah yang perlu antena itu. Mungkin kau perlu antena yang tingginya seribu meter untuk menangkap sinyal-sinyal itu. Atau mungkin, aku yang terlalu pintar menyembunyikannya sedalam-dalamnya.

Kau tahu? Sesungguhnya akulah yang paling tidak ikhlas, Nin. Aku yang tidak pernah ikhlas melihatmu berpasangan dengan siapapun dia. Aku yang berharap paling besar agar kau menolak semua laki-laki itu. Aku yang memiliki harapan paling dalam agar hubungan kalian cepat putus. Namun, setelah aku melihat tawa dan senyummu ketika bersama dengannya dan tetes air matamu setiap kali kau putus, sepertinya hati kecilku harus mengalah demi sebagian dari dirinya. Sesungguhnya aku pun berharap bahwa senyummu itu adalah untukku. Aku pun berharap setidaknya kau melihat sebagai yang lain. Tapi harapan-harapan itu, aku takut itu justru akan membuatmu tidak bahagia.

Mungkin kau tidak pernah sadar kalau aku memperhatikanmu lebih semenjak kita SMP. Perhatian, tatapan, pikiran, dan apapun itu telah menjadi milikmu. Aku tidak pernah bosan memberikan apapun yang bisa kuberikan untukmu. Aku bahkan telah mempersiapkan semua ruang di hatiku untukmu. Aku menyesal bahwa itulah yang tidak pernah bisa kusampaikan padamu. Bahkan sekarang pun, aku masih merasakan hal yang sama setelah aku berpisah denganmu 9 tahun. Selama ini, aku belum pernah bisa membuka pintu hatiku untuk siapapun dan mungkin tidak akan bisa. Semuanya sudah dipersiapkan untukmu. Semuanya telah menjadi milikmu. Dan untuk menjadi milik orang lain, sepertinya waktu yang tersisa tidaklah cukup.

Wiuhhh! Akhirnya aku berhasil jujur padamu. Oh iya, aku minta maaf tidak bisa hadir di pernikahanmu 4 tahun yang lalu. Sebenarnya aku ingin melihat bagaimana cantikmu saat mengenakan baju pengantin dan juga bagaimana wajah calon suamimu. Namun, setelah kau baca tulisan ini, kau pasti tahu alasanku memilih untuk tidak datang. Siapapun dia, dialah yang terbaik untukmu.

Bagaimana dengan Canaya? Aku sudah melihat foto-fotonya di instagram. Wahwah… Betapa bahagianya melihat penerus kita sendiri sedang tumbuh. Dan lagi, putrimu itu begitu cantik dan lucu. Sayangnya aku mungkin tak akan pernah melihat putriku sendiri tumbuh seperti yang bisa kau lihat pada putrimu.

Banyak hal yang kualami selama 9 tahun ini. Sebenarnya aku menulis semua ini dari atas ranjang di Mt. Elizabeth Hospital Singapore. Makanya tadi kutulis, ‘sepertinya’ langit Singapura cerah hari ini. Aku bahkan tidak bisa membedakan siang dan malam dari tempatku terbaring ini. Mungkin, aku tidak akan bertahan lebih lama lagi setelah ini. Aku sudah bosan hidup bergantung dengan semua obat dan alat-alat yang silih berganti menghujam tubuhku. Aku mohon cintailah suamimu seperti aku mencintaimu sampai saat ini. Rawatlah putrimu bahkan sampai kau melupakan dirimu sendiri. Dan aku akan selalu menganggap Canaya sebagai putriku dan akan selalu menjaganya.

Sampai di sinilah kita, Nindy. Berpisah tanpa pernah bersatu. Senang pernah bertemu dan mencintaimu. Aku minta maaf telah membuatmu membuang waktumu yang berharga untuk membaca tulisan ini. Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih karena kau telah mengajarkanku cinta dalam hidup. Kau telah mengajarkanku cinta dan arti sebuah kesetiaan. Kau mengajariku cinta dan mungkin makna dari kepekaan; cinta dan mungkin tentang rahasia; cinta dan mungkin sebuah perjalanan hidup; dan yang terkahir, kau telah membuatku sadar tentang arti cinta dan mungkin perpisahan.
Raka Widiantara
23 Maret 2028



Karya: Putu Amarta Sadwika Sukma

*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!

5 komentar:

Unknown mengatakan...

terharu gue mer,
biasanya jarang aku terharu
bagus bagus (y)

Unknown mengatakan...

eaak.. makasi par
makasi udah komen juga :)

Unknown mengatakan...

cowok tu hidupnya keras

Unknown mengatakan...

Perih bacanya, tapi mengharukan mer. Good job

Unknown mengatakan...

eaa.. seep.. makasi :)

Posting Komentar

 
Copyright 2009 PASS-ON. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Blogger Showcase