Halo, pembaca! Setelah Cerita di Atas Sepeda dan Cerita di Atas Sepeda II, Amarta Sadwika Sukma tidak berhenti berkarya. Kali ini, pass-on akan mempublikasikan seri terakhir dari Cerita di Atas Sepeda, yaitu Cerita di Atas Sepeda III : Akhir Sebuah Perjalanan. Cerita yang tidak menekankan lagi pada kisah cinta remaja. Tentang seorang pria yang sukses sebagai seorang anak bangsa, namun tak berhasil menjadi seorang ayah. Bagaimana ceritanya? Silahkan klik judul posting atau "lanjut baca"!
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
Iya, ini aku yang sama. Orang tua
yang sedang mengayuh sepedanya ini memang aku yang kalian kenal puluhan tahun
yang lalu. Haha, tidak ada yang membangunkanku kali ini. Adikku? Entah dimana
ia saat ini. Waktu memang berjalan begitu cepat, bahkan jauh lebih cepat dari
putaran roda sepedaku. Dan seiring berjalannya waktu dan bertambahnya umurku
ini, kehidupan pun terus berputar. Meski begitu, aku kini mengayuh sepedaku,
lagi. Bergerak perlahan menjauhi rumah, terus ke Utara. Memang tidak ada lagi
kendaraan berpolusi di jalanan. Mereka semua kini bergerak dengan lebih cepat,
tanpa suara, dan tanpa asap yang mengganggu. Dan sepeda, untunglah, mereka
masih memberikan sedikit ruang. Orang-orang menatapku. Mungkin aku terlalu tua
untuk pergi sendiri. Tujuanku kini hanya satu, sebuah bekas pelabuhan di kotaku
yang kini menjadi tempat rekreasi keluarga yang indah.
Lima puluh tahun yang lalu, aku menyelesaikan
studiku di Inggris. Aku dan kecerdasanku adalah hal yang paling dicari saat itu
untuk memulai pembangunan di era modern. Tapi sesuai janjiku, aku kembali ke
pangkuan ibu pertiwi. Aku pulang dengan keahlianku di berbagai bidang teknik
mesin dan bangunan. Saat itu aku bertekad, aku harus membangun tanah kelahiranku.
Beberapa bulan setelah aku kembali menginjakkan kaki
di sini, proyekku mulai berjalan. Pemerintah dan masyarakat sepertinya senang
dengan ide-ideku untuk membangun tanah ini. Meskipun tetap saja ada pro dan
kontra, lima tahun kemudian kota kelahiranku berkembang pesat. Kian banyaknya
investasi yang mengalir mempercepat laju ekonomi dan pembangunan. Perkembangan
yang indah dan keberhasilan yang kucita-citakan sejak dulu kini terwujud.
Merupakan kebanggaan tersendiri bagiku untuk menjadi bagian dari pembangunan
negeri ini.
Setelah itu, keseharianku menjadi lebih santai. Ada
banyak waktu luang yang bisa kumanfaatkan untuk apapun yang ku mau dengan
kegemilanganku saat ini. Tidak lama setelah itu, aku bertemu seorang perempuan
yang seakan membuatku melupakan sejenak kesibukanku. Laksmita, seperti itu
biasanya aku memanggilnya. Nama yang tidak asing dan terdengar seperti gabungan
dari Laksmi dan Sita. Dua orang gadis yang mengisi hati remajaku. Untuk saat
itu, Laksmita hanyalah mitra bisnisku dalam berbagai proyek. Namun tak perlu waktu
lama, setahun kemudian ia telah menjadi mitraku dalam membangun rumah tangga.
“Akhirnya!” kataku dalam hati. Aku telah sampai di
gerbang Taman Wahana Tresna, tujuanku dan sepedaku. Sebuah tempat yang indah di
tepi pantai. Penuh dengan sejuta tawa riang anak-anak, berlarian dan bermain
bersama ibu dan ayah mereka. Aku mengelilingi taman ini dengan hati-hati, takut
menabrak mereka yang berlarian kesana kemari. Orang-orang biasanya berkeliling
taman dengan berjalan kaki. Tidak sembarangan orang bisa bersepeda di sana
sepertiku. Sebenarnya, ide membangun taman ini datang dariku dan Laksmita. Ini
adalah proyek pertama kami sebagai sepasang suami-istri dan di sebelah Timur
taman ini, mereka membuat patung diriku dan Laksmita. Di bawahnya tercetak
jelas “Luangkanlah waktumu untuk keluargamu, cintai mereka, dan berbahagialah
bersama!”
“Pa, akhirnya taman kita jadi ya...” kata Laksmita
sambil menggendong putra pertama kami, Sadwika, yang lahir beberapa minggu yang
lalu. Sadwika, sebenarnya kami memberikan nama itu berdasarkan dua kata, Sadhu
dan Ika yang berarti “pintarlah dia”. Di namanya tersimpan harapan kami agar
suatu saat nanti, ia tumbuh menjadi anak yang jauh lebih cerdas dan sukses
daripada mama dan papanya ini.
“Iya, Ma. Tapi itu kan bukan cuma milik kita.”
“Iya iya… Nanti kalau Sadwika udah gedean, aku mau
kita ke sana ya, Pa? Sebagai satu keluarga gitu. Ya?”
“Iya, Ma. Nanti kalau Sadwika udah 5 tahunan gitu
baru kita sama-sama ke sana.”
“Janji?”
“Janji!”
Janji yang benar-benar tidak dapat terwujud. Dua
tahun kemudian, Presiden yang baru saja dilantik memanggilku ke Jakarta. Dan
beberapa minggu setelah itu, aku masuk ke dalam kabinetnya menjadi seorang
Menteri Riset dan Teknologi. Di satu sisi, aku ingin sekali memajukan pembangunan
dan teknologi di negeri ini, tapi di sisi lain, Laksmita enggan tinggal
Jakarta. Ia masih ingin mengurus tanah kelahirannya dan membantu pembangunan di
sini.
“Aduh!” tanpa sengaja aku menyerempet seorang anak
laki-laki yang tengah berjalan-jalan di taman itu.
“Eh, maaf, Nak. Kakek tidak sengaja,” kataku pada
anak itu yang kutaksir masih berumur 10 tahun, sama seperti umur Sadwika saat
itu.
Kesibukanku dan Laksmita tampaknya membuatnya
kekurangan kasih sayang orang tua. Selama ini, Sadwika hanya dirawat oleh
kerabat Laksmita. Tapi dua tahun lagi, aku akan menyelesaikan tugasku di
Jakarta dan pulang menemui istri dan anakku. Namun, dua tahun berikutnya calon
presiden menjadikanku dan kecerdasanku sebagai alat politik. Tak kusangka aku
ikut terjun ke ranah politik dan 10 tahun berikutnya, aku diangkat menjadi
menteri di kementerian yang sama. Mungkin akulah satu-satunya yang bisa
memegang jabatan itu selama 20 tahun.
Hari ini, 2 Mei 2057, Sadwika genap berumur 23
tahun. Sebenarnya saat ini aku mempunyai banyak waktu luang untuk merayakannya
bersama. Namun kini, Sadwika yang tidak mempunyai waktu lagi. Ia sedang sibuk
dengan studinya di Massachusetts, Amerika Serikat.
“Selamat Ulang Tahun, Nak! Papa bangga denganmu.
Segera tuntaskan studimu dan kita akan berkumpul bersama lagi sebagai keluarga
dan bisa pergi ke taman bersama ibumu,” aku hanya mengirimkan pesan singkat
padanya karena takut mengganggu studinya.
“Haha… Terimakasih, Pa. Seingatku, ini ucapan
selamat ulang tahun pertama dari papa. Tapi sekedar mengingatkan papa,
barangkali papa lupa, AKU SUDAH BERUMUR 23 TAHUN. Pergi ke taman bersama? Haha…
terimakasih, Pa. Aku memang menginginkan itu, 18 TAHUN YANG LALU. Sekarang aku
mengerti betapa sibuknya papa dan mama saat itu karena sekarang aku pun sesibuk
itu. Aku mungkin tidak akan pulang. Pulang ke rumah yang mana? Keluarga yang
mana? Di sini aku sudah berkeluarga dan di sinilah rumahku sekarang. Cucumu
baru lahir 3 hari yang lalu. Aku berharap bisa menjadi ayah yang lebih baik.
Terimakasih, Pa.”
Balasan yang kuterima 20 tahun yang lalu itu,
sanggup membasahi pipiku saat itu. Laksmita yang yang saat itu turut membaca
pesan itu menyandarkan kepalanya di bahuku dan mulai terisak. Bagaimana mungkin
kami, atau aku, melalaikan putra kami satu satunya? Penyesalan terlukis di
wajah kami berdua. Sesaat, kami saling menatap. Tatapan yang dalam namun penuh
harapan. Dan berpelukanlah kami dengan erat, tak mau lagi kehilangan
satu-satunya keluarga yang tersisa.
Hari-hari berikutnya, kami seakan tak mempunyai semangat
hidup. Penyesalan selalu menghantui kami membuat kami selalu gelisah dan tidak
dapat bekerja dengan baik. Aku dan Laksmita sering hanya menghabiskan waktu di
balkon atas dan melamun. Yang ada dipikiran kami hanyalah anak kami
satu-satunya dan sejuta penyesalan. Sampai suatu hari, Laksmita berdiri dan
menatap dalam-dalam wajahku.
“Sudah cukup dua tahun kita habiskan untuk menyesal,
Pa. Kita harus mengikhlaskan semuanya. Umur kita baru 60 tahun. Aku rasa masih
banyak waktu bagi kita untuk bangkit lagi. Setidaknya, aku ingin meninggalkan
dunia ini dengan senyuman,” katanya padaku.
Susunan kalimat yang mampu membangkitkan semangatku.
Saat itu kami berdua bertekad membangun usaha baru. Dan setahun kemudian “The
Sadwika House” populer di kalangan orang tua baru. Perusahaan yang kami bangun
penuh dengan cinta itu bergerak di bidang perlengkapan bayi, peralatan rumah
tangga, dan kebutuhan sebuah keluarga lainnya. Kami senang bisa membantu
keluarga-keluarga lain mendapat kebahagiaan mereka selama bertahun-tahun
meskipun keluarga kami bukanlah sebuah keluarga yang ideal. The Sadwika House
telah melukis sejuta senyuman di wajah kami selama belasan tahun.
Kini aku duduk di samping sepedaku, di tepi pantai
namun tak terkena deburan ombak laut Utara. Melihat ke sebelah Barat, ke sebuah
gedung yang menjorok ke tengah laut. The Sadwika House adalah harta terakhirku
selain sebuah rumah di tengah kota. Itu adalah harta kenanganku bersama anak
dan almarhumah istriku yang paling berharga.
Iya, Laksmita mendahuluiku beberapa bulan yang lalu,
tentunya dengan senyuman di wajahnya meskipun itu bukanlah senyuman yang
sempurna tanpa seorang anak di saat terakhirnya. Aku bagai bangunan beton yang
kokoh namun tanpa oksigen selama 5 detik; hancur menjadi debu. Seperti
kehilangan landasan, pandangan, dan pendirian. Seperti Soeharto tanpa Ibu Tin,
maupun Habibie tanpa Ainun. Namun masih saja ada sedikit kebahagiaan karena
anakku hadir pada upacara pembakaran jenazah mamanya. Walaupun aku sama sekali
tidak dapat berbicara dengannya, setidaknya ia terlihat menjadi ayah yang lebih
baik dan membawa anak laki-laki dan perempuannya yang kutaksir berusia belasan
tahun itu bersama.
Tuhan menghendakiku dapat melihat cucu-cucuku yang
sedang tumbuh dewasa dan aku rasa itu sudah cukup. Sekarang aku sudah tenang.
Hari ini aku pergi ke sini, Taman Wahana Tresna, yang akan kujadikan tujuan
terakhirku bersama sepedaku. Dengan melihat sekali lagi tulisan di bawah patung
kami, “Luangkanlah waktumu untuk keluargamu, cintai mereka, dan berbahagialah
bersama!”, aku menulis sebuah catatan.
Singaraja,
2 Mei 2077
Untuk
putraku yang kucinta, Sadwika Nata Putra.
Hari
ini papa pergi ke Taman Wahana Tresna. Taman yang dulu kita cita-citakan akan
menjadi tempat liburan kita bersama. Hal yang tak terwujud setelah 39 tahun
papa melanggar janji. Janji yang seharusnya papa tak pernah buat atau yang
sepatutnya papa penuhi.
Matahari
terbenam di sini sungguh indah. Aku yakin matahari terbenam tidak akan terlihat
seindah ini di Massachusetts. Dan The Sadwika House turut menghiasi pandangan
papa dari tempat papa terduduk saat ini. Taman ini dan The Sadwika House selalu
mengingat papa padamu dan mamamu. Papa berharap, usia papa 39 tahun lebih muda
dan duduk di sini bersama kalian memandang matahari yang sedang terbenam dengan
indahnya di Barat.
Hanya
kata maaf yang tepat untuk papa sampaikan saat ini. Selamat ulang tahun yang
ke-44 anakku! Papa bangga mendengar kesuksesanmu di sana dan lebih bangga lagi
karena kau telah membesarkan cucu-cucuku dengan kasih sayang, bukan hanya
sekarung uang. Jika saat itu papa mengucapkan selamat ulang tahun yang pertama,
maka mungkin inilah yang terakhir.
Meskipun
aku membuat catatan ini untuk anakku, aku yakin bukan dirinyalah yang
menemukannya pertama kali. Dan aku memohon kepada siapapun yang menemukan ini,
tolong sampaikan kepada anakku bahwa aku sedang menyaksikan indahnya matahari terbenam bersama istriku dalam damai.
Nata
Bhuana
Di
Akhir Perjalanannya
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
0 komentar:
Posting Komentar