Minggu, 15 Juni 2014

Cerita di Atas Sepeda III : Akhir Sebuah Perjalanan

Halo, pembaca! Setelah Cerita di Atas Sepeda dan Cerita di Atas Sepeda II, Amarta Sadwika Sukma tidak berhenti berkarya. Kali ini, pass-on akan mempublikasikan seri terakhir dari Cerita di Atas Sepeda, yaitu Cerita di Atas Sepeda III : Akhir Sebuah Perjalanan. Cerita yang tidak menekankan lagi pada kisah cinta remaja. Tentang seorang pria yang sukses sebagai seorang anak bangsa, namun tak berhasil menjadi seorang ayah. Bagaimana ceritanya? Silahkan klik judul posting atau "lanjut baca"!
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!

Iya, ini aku yang sama. Orang tua yang sedang mengayuh sepedanya ini memang aku yang kalian kenal puluhan tahun yang lalu. Haha, tidak ada yang membangunkanku kali ini. Adikku? Entah dimana ia saat ini. Waktu memang berjalan begitu cepat, bahkan jauh lebih cepat dari putaran roda sepedaku. Dan seiring berjalannya waktu dan bertambahnya umurku ini, kehidupan pun terus berputar. Meski begitu, aku kini mengayuh sepedaku, lagi. Bergerak perlahan menjauhi rumah, terus ke Utara. Memang tidak ada lagi kendaraan berpolusi di jalanan. Mereka semua kini bergerak dengan lebih cepat, tanpa suara, dan tanpa asap yang mengganggu. Dan sepeda, untunglah, mereka masih memberikan sedikit ruang. Orang-orang menatapku. Mungkin aku terlalu tua untuk pergi sendiri. Tujuanku kini hanya satu, sebuah bekas pelabuhan di kotaku yang kini menjadi tempat rekreasi keluarga yang indah.

Lima puluh tahun yang lalu, aku menyelesaikan studiku di Inggris. Aku dan kecerdasanku adalah hal yang paling dicari saat itu untuk memulai pembangunan di era modern. Tapi sesuai janjiku, aku kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Aku pulang dengan keahlianku di berbagai bidang teknik mesin dan bangunan. Saat itu aku bertekad, aku harus membangun tanah kelahiranku.
Beberapa bulan setelah aku kembali menginjakkan kaki di sini, proyekku mulai berjalan. Pemerintah dan masyarakat sepertinya senang dengan ide-ideku untuk membangun tanah ini. Meskipun tetap saja ada pro dan kontra, lima tahun kemudian kota kelahiranku berkembang pesat. Kian banyaknya investasi yang mengalir mempercepat laju ekonomi dan pembangunan. Perkembangan yang indah dan keberhasilan yang kucita-citakan sejak dulu kini terwujud. Merupakan kebanggaan tersendiri bagiku untuk menjadi bagian dari pembangunan negeri ini.
Setelah itu, keseharianku menjadi lebih santai. Ada banyak waktu luang yang bisa kumanfaatkan untuk apapun yang ku mau dengan kegemilanganku saat ini. Tidak lama setelah itu, aku bertemu seorang perempuan yang seakan membuatku melupakan sejenak kesibukanku. Laksmita, seperti itu biasanya aku memanggilnya. Nama yang tidak asing dan terdengar seperti gabungan dari Laksmi dan Sita. Dua orang gadis yang mengisi hati remajaku. Untuk saat itu, Laksmita hanyalah mitra bisnisku dalam berbagai proyek. Namun tak perlu waktu lama, setahun kemudian ia telah menjadi mitraku dalam membangun rumah tangga.
“Akhirnya!” kataku dalam hati. Aku telah sampai di gerbang Taman Wahana Tresna, tujuanku dan sepedaku. Sebuah tempat yang indah di tepi pantai. Penuh dengan sejuta tawa riang anak-anak, berlarian dan bermain bersama ibu dan ayah mereka. Aku mengelilingi taman ini dengan hati-hati, takut menabrak mereka yang berlarian kesana kemari. Orang-orang biasanya berkeliling taman dengan berjalan kaki. Tidak sembarangan orang bisa bersepeda di sana sepertiku. Sebenarnya, ide membangun taman ini datang dariku dan Laksmita. Ini adalah proyek pertama kami sebagai sepasang suami-istri dan di sebelah Timur taman ini, mereka membuat patung diriku dan Laksmita. Di bawahnya tercetak jelas “Luangkanlah waktumu untuk keluargamu, cintai mereka, dan berbahagialah bersama!”
“Pa, akhirnya taman kita jadi ya...” kata Laksmita sambil menggendong putra pertama kami, Sadwika, yang lahir beberapa minggu yang lalu. Sadwika, sebenarnya kami memberikan nama itu berdasarkan dua kata, Sadhu dan Ika yang berarti “pintarlah dia”. Di namanya tersimpan harapan kami agar suatu saat nanti, ia tumbuh menjadi anak yang jauh lebih cerdas dan sukses daripada mama dan papanya ini.
“Iya, Ma. Tapi itu kan bukan cuma milik kita.”
“Iya iya… Nanti kalau Sadwika udah gedean, aku mau kita ke sana ya, Pa? Sebagai satu keluarga gitu. Ya?”
“Iya, Ma. Nanti kalau Sadwika udah 5 tahunan gitu baru kita sama-sama ke sana.”
“Janji?”
“Janji!”
Janji yang benar-benar tidak dapat terwujud. Dua tahun kemudian, Presiden yang baru saja dilantik memanggilku ke Jakarta. Dan beberapa minggu setelah itu, aku masuk ke dalam kabinetnya menjadi seorang Menteri Riset dan Teknologi. Di satu sisi, aku ingin sekali memajukan pembangunan dan teknologi di negeri ini, tapi di sisi lain, Laksmita enggan tinggal Jakarta. Ia masih ingin mengurus tanah kelahirannya dan membantu pembangunan di sini.
“Aduh!” tanpa sengaja aku menyerempet seorang anak laki-laki yang tengah berjalan-jalan di taman itu.
“Eh, maaf, Nak. Kakek tidak sengaja,” kataku pada anak itu yang kutaksir masih berumur 10 tahun, sama seperti umur Sadwika saat itu.
Kesibukanku dan Laksmita tampaknya membuatnya kekurangan kasih sayang orang tua. Selama ini, Sadwika hanya dirawat oleh kerabat Laksmita. Tapi dua tahun lagi, aku akan menyelesaikan tugasku di Jakarta dan pulang menemui istri dan anakku. Namun, dua tahun berikutnya calon presiden menjadikanku dan kecerdasanku sebagai alat politik. Tak kusangka aku ikut terjun ke ranah politik dan 10 tahun berikutnya, aku diangkat menjadi menteri di kementerian yang sama. Mungkin akulah satu-satunya yang bisa memegang jabatan itu selama 20 tahun.
Hari ini, 2 Mei 2057, Sadwika genap berumur 23 tahun. Sebenarnya saat ini aku mempunyai banyak waktu luang untuk merayakannya bersama. Namun kini, Sadwika yang tidak mempunyai waktu lagi. Ia sedang sibuk dengan studinya di Massachusetts, Amerika Serikat.
“Selamat Ulang Tahun, Nak! Papa bangga denganmu. Segera tuntaskan studimu dan kita akan berkumpul bersama lagi sebagai keluarga dan bisa pergi ke taman bersama ibumu,” aku hanya mengirimkan pesan singkat padanya karena takut mengganggu studinya.
“Haha… Terimakasih, Pa. Seingatku, ini ucapan selamat ulang tahun pertama dari papa. Tapi sekedar mengingatkan papa, barangkali papa lupa, AKU SUDAH BERUMUR 23 TAHUN. Pergi ke taman bersama? Haha… terimakasih, Pa. Aku memang menginginkan itu, 18 TAHUN YANG LALU. Sekarang aku mengerti betapa sibuknya papa dan mama saat itu karena sekarang aku pun sesibuk itu. Aku mungkin tidak akan pulang. Pulang ke rumah yang mana? Keluarga yang mana? Di sini aku sudah berkeluarga dan di sinilah rumahku sekarang. Cucumu baru lahir 3 hari yang lalu. Aku berharap bisa menjadi ayah yang lebih baik. Terimakasih, Pa.”
Balasan yang kuterima 20 tahun yang lalu itu, sanggup membasahi pipiku saat itu. Laksmita yang yang saat itu turut membaca pesan itu menyandarkan kepalanya di bahuku dan mulai terisak. Bagaimana mungkin kami, atau aku, melalaikan putra kami satu satunya? Penyesalan terlukis di wajah kami berdua. Sesaat, kami saling menatap. Tatapan yang dalam namun penuh harapan. Dan berpelukanlah kami dengan erat, tak mau lagi kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa.
Hari-hari berikutnya, kami seakan tak mempunyai semangat hidup. Penyesalan selalu menghantui kami membuat kami selalu gelisah dan tidak dapat bekerja dengan baik. Aku dan Laksmita sering hanya menghabiskan waktu di balkon atas dan melamun. Yang ada dipikiran kami hanyalah anak kami satu-satunya dan sejuta penyesalan. Sampai suatu hari, Laksmita berdiri dan menatap dalam-dalam wajahku.
“Sudah cukup dua tahun kita habiskan untuk menyesal, Pa. Kita harus mengikhlaskan semuanya. Umur kita baru 60 tahun. Aku rasa masih banyak waktu bagi kita untuk bangkit lagi. Setidaknya, aku ingin meninggalkan dunia ini dengan senyuman,” katanya padaku.
Susunan kalimat yang mampu membangkitkan semangatku. Saat itu kami berdua bertekad membangun usaha baru. Dan setahun kemudian “The Sadwika House” populer di kalangan orang tua baru. Perusahaan yang kami bangun penuh dengan cinta itu bergerak di bidang perlengkapan bayi, peralatan rumah tangga, dan kebutuhan sebuah keluarga lainnya. Kami senang bisa membantu keluarga-keluarga lain mendapat kebahagiaan mereka selama bertahun-tahun meskipun keluarga kami bukanlah sebuah keluarga yang ideal. The Sadwika House telah melukis sejuta senyuman di wajah kami selama belasan tahun.
Kini aku duduk di samping sepedaku, di tepi pantai namun tak terkena deburan ombak laut Utara. Melihat ke sebelah Barat, ke sebuah gedung yang menjorok ke tengah laut. The Sadwika House adalah harta terakhirku selain sebuah rumah di tengah kota. Itu adalah harta kenanganku bersama anak dan almarhumah istriku yang paling berharga.
Iya, Laksmita mendahuluiku beberapa bulan yang lalu, tentunya dengan senyuman di wajahnya meskipun itu bukanlah senyuman yang sempurna tanpa seorang anak di saat terakhirnya. Aku bagai bangunan beton yang kokoh namun tanpa oksigen selama 5 detik; hancur menjadi debu. Seperti kehilangan landasan, pandangan, dan pendirian. Seperti Soeharto tanpa Ibu Tin, maupun Habibie tanpa Ainun. Namun masih saja ada sedikit kebahagiaan karena anakku hadir pada upacara pembakaran jenazah mamanya. Walaupun aku sama sekali tidak dapat berbicara dengannya, setidaknya ia terlihat menjadi ayah yang lebih baik dan membawa anak laki-laki dan perempuannya yang kutaksir berusia belasan tahun itu bersama.
Tuhan menghendakiku dapat melihat cucu-cucuku yang sedang tumbuh dewasa dan aku rasa itu sudah cukup. Sekarang aku sudah tenang. Hari ini aku pergi ke sini, Taman Wahana Tresna, yang akan kujadikan tujuan terakhirku bersama sepedaku. Dengan melihat sekali lagi tulisan di bawah patung kami, “Luangkanlah waktumu untuk keluargamu, cintai mereka, dan berbahagialah bersama!”, aku menulis sebuah catatan.
Singaraja, 2 Mei 2077
Untuk putraku yang kucinta, Sadwika Nata Putra.
Hari ini papa pergi ke Taman Wahana Tresna. Taman yang dulu kita cita-citakan akan menjadi tempat liburan kita bersama. Hal yang tak terwujud setelah 39 tahun papa melanggar janji. Janji yang seharusnya papa tak pernah buat atau yang sepatutnya papa penuhi.
Matahari terbenam di sini sungguh indah. Aku yakin matahari terbenam tidak akan terlihat seindah ini di Massachusetts. Dan The Sadwika House turut menghiasi pandangan papa dari tempat papa terduduk saat ini. Taman ini dan The Sadwika House selalu mengingat papa padamu dan mamamu. Papa berharap, usia papa 39 tahun lebih muda dan duduk di sini bersama kalian memandang matahari yang sedang terbenam dengan indahnya di Barat.
Hanya kata maaf yang tepat untuk papa sampaikan saat ini. Selamat ulang tahun yang ke-44 anakku! Papa bangga mendengar kesuksesanmu di sana dan lebih bangga lagi karena kau telah membesarkan cucu-cucuku dengan kasih sayang, bukan hanya sekarung uang. Jika saat itu papa mengucapkan selamat ulang tahun yang pertama, maka mungkin inilah yang terakhir.
Meskipun aku membuat catatan ini untuk anakku, aku yakin bukan dirinyalah yang menemukannya pertama kali. Dan aku memohon kepada siapapun yang menemukan ini, tolong sampaikan kepada anakku bahwa aku sedang menyaksikan indahnya matahari terbenam bersama istriku dalam damai.
Nata Bhuana
Di Akhir Perjalanannya

*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 PASS-ON. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Blogger Showcase