
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
"Bu,
kakak udah bangun!”, sayup-sayup terdengar suara adikku ketika aku berusaha
membuka mataku. Sulit sekali rasanya melihat dan berbicara dengan keadaan
seperti ini. Belakangan ini aku lebih banyak menggunakan saraf sensorikku.
Saraf motorik? Aku harap dapat menggunakannya sebaik dulu. Rasa sakit
menyelimuti seluruh tubuhku dan semua yang kulihat seakan berputar. Dengan
susah payah, akhirnya dapat kubuka mulutku. “Bu, air.”, kata-kata pertama yang
keluar dari mulutku. Entah berapa lama aku tidak minum, tenggorokanku terasa
sangat kering. Sambil meneguk air dari ibuku, aku berusaha melihat keadaan
sekitar dengan jelas. Tempat yang sangat tidak asing bagiku. Sebuah kamar VVIP
RSUD di kotaku yang sering kukunjungi jika keluargaku sakit.
Ini bukan hari yang sama atau beberapa hari setelah
kututup mataku pagi itu pada ceritaku yang pertama. Aku pun tidak ingat hari
ini hari apa ataupun tanggal berapa. Yang aku ingat sekarang adalah bulan Februari
dan aku sudah menginjak kelas XII SMA. Jadi, hari Minggu yang kelam itu sudah
sekitar satu tahun tujuh bulan yang lalu. Aku pun sedikit demi sedikit dapat
melupakan itu. Walaupun tidak seluruhnya, tapi aku sadar aku tidak hidup di
masa lalu. Bagaimana dengan Laksmi? Hahaha! Aku pun tak lagi merindukannya.
Lucunya, dulu aku sempat berpikir aku tak dapat hidup tanpanya. Buktinya? This is me and alive! Meskipun aku tak
rindu, bukan berarti aku lupa. Recycle
Bin dari hati adalah sebuah tempat kecil di dalam kepala. Laki-laki sejati
tidak akan melupakan perempuan-perempuan hebat dalam hidupnya.
“Kak, ada Mbok Ita tuh!”, kata adikku padaku.
Wahwah, ini dia! Gadis yang sudah lebih dari setahun ini setia menemaniku.
Sita, adik kelasku yang mengalihkan pandanganku dari cerita lamaku.
Kehadirannya bagaikan api yang membakar semangatku dan memulihkan energiku.
Masih ingat? Hati memberikan energi yang tidak perutmu berikan. Dia nih, energy booster dari hati! Keluargaku pun
sudah mengenalnya dan adikku cukup akrab dengan Mbok Itanya ini. Hanya adikku
yang berani memanggilnya Ita, tentu saja selain aku. Satu lagi yang menarik,
kami sama-sama juara satu umum dan bersaing dengan ketat di bidang yang sama,
Fisika. Lagi-lagi Fisika mempertemukanku pada someone special. Memang, ilmu pengetahuan sangat dekat dengan cinta
dan kehidupan.
“Kak Ata, udah baikan belum?”, tanyanya sambil
menghampiriku yang terduduk di ranjang pasien. “Udah.”, jawabku singkat. “Nih
Gek Ita bawain cokelat.”, katanya sambil memberikanku sebatang cokelat yang
dihiasi pita. “Wih… Makasi, Gek Ita. Dalam rangka apa nih?”, tanyaku bingung
mengapa dia memberikanku cokelat. Apa hanya sekedar untuk memulihkan tenagaku?
Tapi untuk apa diisi pita segala. “Aduh, Kak. Sekarang kan Valentine’s Day.
Happy Valentine’s day yaa and happy 14 months anniversary!”, katanya sambil
memelukku. “Wuhuuu! Happy Valentine’s day and 14 months anniversary too, Gek
Ita!”, kataku dengan penuh kesenangan dan semangat tak peduli rasa sakit yang
masih mendera. Di tengah kesenangan itu, aku merasa sedikit bingung. “Tunggu
dulu, berarti sudah tiga hari aku gak sadar.”, pikirku dalam hati. Aku mengiingat
kembali apa yang sesungguhnya terjadi dan mengapa aku sampai berada di sini.
“Gek Ita, Ata minta maaf ya…”, kataku sambil menahan air mataku yang tak
terbendung. “Iya, Kak. Gak usah segitunya. Gek Ita ngerti kok.”, katanya.
Sungguh perempuan yang perfect. Maka
dari itu, aku harus melanjutkan pembicaraan ini, “Tapi…”.
Beberapa
minggu yang lalu, aku mengayuh sepedaku
pulang sekolah. Iya, sepeda gayung, bukan sepeda motor. Aku masih sering
menggunakan sepeda gayung ke sekolah meski sudah menginjak kelas XII SMA. Kelas
yang begitu melelahkan sudah kutinggalkan menuju rumah yang nyaman.
Perjalananku pun seperti hari-hari biasanya. Berusaha memindahkan kepenatan di
kepala ke tubuhku ini. Traffic light pun senantiasa menantiku dengan lampu
merahnya yang menyala. Menakut-nakutiku untuk melanjutkan perjalanan. Aku tidak
takut, aku hanya berusaha menaati hukum. Sebuah mobil berwarna putih berhenti
di sebelahku. Iseng saja, aku sedikit melihat ke dalam. “Ya Tuhan!
Mungkinkah?”, pikirku terkejut melihat seseorang di dalam mobil itu. Kubuang
wajahku jauh-jauh sambil berusaha berpikir lebih jernih. Ketika kulihat lagi,
mobil itu sudah jauh dariku. Suara klakson pun semakin riuh memaksaku
melanjutkan perjalanan. “Sial! Kenapa?”, pikirku kesal waktu itu.
Aku kesal dengan Gek Ita. Baru kali ini ia tak dapat
menemaniku lari pagi seperti biasanya. Namun apa boleh buat, studinya memang
sangat penting. Ia sangat berambisi untuk mengikuti pertukaran pelajar ke
Jerman. Sebagai cowoknya yang baik, aku wajib mendukung cita-citanya itu. Kuputuskan
untuk lari pagi seorang diri. Entah kenapa, taman kota terasa sepi tanpa canda
tawanya dan karena itu, aku lebih cepat lelah. Saat aku berlari di dekat
deretan pedagang di sebelah Utara alun-alun kota itu, aku mendengar suara tawa
yang khas. Tawa yang sepertinya tidak asing lagi. Ketika aku mendekat, aku
terkejut setengah mati setelah melihat orang yang sama dengan yang kulihat di
dalam mobil putih beberapa minggu yang lalu. Aku berusaha melihatnya lebih
dekat dan ia sepertinya melihatku juga.
“Kak Ata? Hai!”, katanya padaku sambil melambaikan
tangannya. “Iya. Laksmi kan?”, tanyaku padanya. Tak kusangka, kami bisa bertemu
lagi setelah satu tahun lebih yang panjang. “Iya. Duduk sini, Kak!”, ia
mengajakku duduk di sebelahnya. Bersama dua orang temannya, kami berbicara
luas, yaitu panjang kali lebar. Sebenarnya hanya aku dan Laksmi, teman-temannya
ngobrol dengan topik mereka sendiri. Mulai dari menanyakan kabar sampai
menanyakan aktifitasnya kini. Diawali dengan canggung seperti masa-masa pedekate dulu sampai bisa mengobrol
dengan lebih santai. Dari obrolan itu, aku tahu ia ke sini untuk acara
keluarga, tetapi yang lebih mengejutkan kalau ia punya rencana untuk pindah ke
Bali. Yang masih ia bingungkan adalah apakah ia harus pindah ke kotaku ini atau
ke ibu kota provinsi. Tetapi, melihat keberadaanku di sini dan aku yang masih friendly di sini, katanya ia akan
memilih kotaku. “Yeah!!”, aku bersorak dalam hati.
Matahari semakin meraja dan masalah pun datang.
Teman-temannya meninggalkan Laksmi saat tak ada seorang pun yang bisa
mengantarkannya pulang. Tidak ada yang bisa? Bagaimana denganku? “Kak, bisa
minta tolong anterin aku pulang gak?”, tanyanya padaku. Aku menelan ludah
mendengar pertanyaannya itu. “Bisa. Tapi naik sepeda gak apa-apa kan?”. Sepeda,
Harley, ataupun Jaguar tak jadi masalah bagi Laksmi asalkan ia bisa pulang.
“Yakin bisa nganterin aku pake sepeda, Kak?,” tanyanya padaku untuk lebih
meyakinkan. “Ke rumah tantemu kan? Gak jauh kok. Waktu itu malah lebih jauh.”,
jawabku dengan tawa kecil. “Waktu itu kapan?”, tanyanya namun aku hanya
menjawab dengan senyuman. Aku tidak akan menceritakannya apapun tentang hari
Minggu berbulan-bulan yang lalu itu.
Akhirnya, berhasil juga kugandeng Laksmi dengan
sepedaku ini. Perjalanan kulewati dengan canda tawa bersamanya. Sudah lama aku
tidak mengalami hal ini. Sudah kubilang, aku tak merindukannya, namun juga tak
melupakannya. Tetapi, hal ini begitu kurindukan. “Kak, Kak Ata ngandeng aku
gini gak ada yang cemburu?”, pertanyaannya memecah lamunanku. Apa yang aku lakukan
sekarang? Aku hanya mengantarnya pulang, namun aku merasa lebih. “Kak Ata? Ya…
Kayak pacar gitu. Udah move on belum
nih?”, tanyanya sekali lagi. Pikiranku kalang kabut menyiapkan jawaban yang
pas. Aku memang sudah move on, tapi
kalau begini caranya, bagaimana mungkin gak flashback?
Aku memutuskan untuk tidak menjawab. Aku hanya bisa diam dalam pengkhianatanku
terhadap Sita. Aku hanya melamun sambil mengayuh sepedaku sampai Laksmi
berteriak, “Kak Ata! Awas, Kak!”
“Maaf… Maaf soal ini, Gek.”, aku menyambung
pembicaraanku. “Iya, Kak. Oh iya, aku jadi ke Jerman, Kak! Besok aku
berangkat.”, katanya memecah keteganganku. “Hah? Besok? Kok Kak Ata gak tahu?”,
tanyaku terkejut meskipun aku juga senang. “Suratnya sampai waktu kakak kecelekaan.
Aku mungkin perginya agak lama, Kak. Enam tahun mungkin.”, jawabnya. “Hah? Agak
lama? Enam tahun itu lama amat, Gek. Gek Ita ninggalin kakak gitu?”. “Iya. Mau
gimana lagi. Lagipula kakak juga udah nyangkut di sini kan. Aku udah tahu
tentang Laksmi, Kak! Dia ada di kamar sebelah. Aku pergi sekarang ya… Bye!”,
katanya lalu pergi dengan terisak setelah mencium pipiku. Aku hanya diam.
Menatapi cokelat pemberiannya yang pastinya tak akan manis. Entahlah, aku hanya
merasa… bodoh.
Dengan bantuan adikku, aku ke kamar sebelah tempat
Laksmi dirawat dengan kepala masih diperban. Namun, itu sia-sia. Aku tidak
menemukan Laksmi di ruang itu. Entahlah, mungkin ia sudah pulang. Aku melihat
sesuatu di atas meja pasien. Ternyata itu secarik kertas yang bertuliskan tulisan
tangan Laksmi. Kata-kata yang membuatku ingin berlutut untuk memohon waktu
dapat diulang. Karena benar, ditinggalkan jauh lebih buruk daripada
meninggalkan namun sakit hati tak ada obatnya. Ia menulis, “Aku di sini dan
dikhianati, maka aku pergi. Laksmi.”
Selesai
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
Baca juga: Cerita di Atas Sepeda dan Cerita di Atas Sepeda III
Baca juga: Cerita di Atas Sepeda dan Cerita di Atas Sepeda III
0 komentar:
Posting Komentar