
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
Dan aku telah
melihat temanku tewas berlumuran darah. Sungguh tragedi yang sangat tragis.
Luka parah yang dialaminya di kepala dan nyaris sekujur tubuhnya membuatku
hampir tak dapat mengenalinya. Tunggu, tak jauh dari jazadnya yang hangat,
tergeletak juga sosok perempuan yang sepertinya aku kenal. Aku pun memeriksa
keadaannya. Tidak bernafas. Nadinya pun tak berdenyut lagi. Dari lehernya yang
kebiruan, kuduga ia mengalami patah tulang leher. Dan tragedi ini telah
menewaskan dua temanku. Laki-laki dan perempuan.
Mendengar
sirine polisi yang mendekat, aku hendak menjauhi lokasi itu. Selanjutnya adalah
tugas mereka. Cukup. Aku sudah mendapati teman-temanku pergi dengan tragis. Tak
mau lagi aku diperberat dengan hal-hal lain sebagai saksi. Sembari melangkahkan
kakiku keluar, aku menatapi wajah mereka. Melihat kondisi mereka. Sekali lagi. Dan
di pandanganku yang terakhir, aku melihat satu hal yang membuatku berhenti
melangkahkan kaki. Aku bertanya-tanya di dalam kesunyian pikiranku. Ya Tuhan,
apakah ini hanya kebetulan? Apakah keberadaan benda itu hanya kebetulan?
---///---
Kriiiing! Bel
tanda istirahat berbunyi. Inilah sebuah taman kanak-kanak dengan puluhan
anak-anak yang berlari ceria. Tawa lepas terdengar di setiap sudut halamannya.
Suara tangis pun kadang terdengar dan merepotkan para guru pembimbing. Bermain
prosotan dan ayunan yang bergerak harmonik diselingi bunyi berdecit besi
berkarat. Itu dia sebuah permainan tangga berbentuk bulat seperti globe.
Mengundang anak-anak yang berani untuk memanjat dan mencapai puncaknya. Semakin
tinggi mereka memanjat, semakin khawatir guru-guru memperhatikannya.
Di tengah
canda tawa mereka, tepat di dasar tangga globe itu, seorang anak laki-laki
menikmati dunianya yang berbeda. Tak seperti anak laki-laki lain yang senang
menguji nyali mereka, ia malah menganggap permainan itu seperti sebuah rumah.
Bersama dua orang anak perempuan yang lain, ia bermain rumah-rumahan. Lebih
jauh lagi masuk ke dunia bermainnya, ia telah menganggap dirinya sendiri sebagai
seorang ayah dan dua orang temannya itu masing-masing sebagai ibu dan anak
perempuan. Sebuah keluarga kecil yang bahagia di benak anak-anak taman
kanak-kanak. Jauh dari pertengkaran, tanpa perselisihan. Hanya ada tawa,
senang, dan kebebasan.
Satu penutup
cerita untuk pagi itu terjadi di depan kelas A. Terlihat seorang anak laki-laki
yang sedang berbicara dengan teman perempuannya. Ya! Itu adalah anak yang tadi.
Bukan sebuah pembicaraan yang serius. Walaupun begitu, burung-burung kertas
yang bergantungan di jendela pun tahu bahwa itu akan menjadi awal sebuah
cerita. Sebuah awal kadang tak mesti seserius cerita intinya. Sebuah awal
bahkan tak akan memandang bagaimana akhir akan terjadi. Dan itulah sebuah awal.
Mengalir bebas seperti udara segar di pegunungan.
Tangannya
yang mungil itu kemudian bergerak ke telinganya. Ternyata ia hendak mengambil
bunga cempaka yang sedang ia kenakan dari tadi. Menggambarkan seorang anak yang
taat bersembahyang meskipun belum tahu apa sebenarnya maknanya. Tangannya yang sedang
menggenggam cempaka putih itu pun bergerak mendekati teman perempuannya. Dari
gerak-gerik mereka, mungkin apa yang mereka bicarakan bisa ditebak.
“Ini untuk
kamu,” ucap si anak laki-laki sambil memberikan bunga cempaka putih itu.
“Ini apa?”
tanya si anak perempuan dengan polosnya.
“Ini namanya
cempaka. Aku pakai ini setiap hari. Ambil aja,” ucap si anak laki-laki lalu
beranjak pergi. Tak ada yang tahu apa sebenarnya alasan anak laki-laki itu
memberikan bunga cempaka putih kepada teman perempuannya. Bahkan gumpalan
plastisin di atas meja pun seakan bertanya akan kesaksian bisunya.
Hari demi
hari berlanjut seiring cempaka demi cempaka berpindah tangan di halaman taman
kanak-kanak itu. “Cempaka?” tanya anak perempuan di dalam hatinya. Harum baunya
seakan telah menarik anak perempuan itu ke sebuah dunia baru. Dengan lugunya ia
menghampiri mamanya dan meminta sebuah pohon cempaka tumbuh di halaman
rumahnya. Permintaan polos dari seorang anak berusia kurang dari lima tahun itu
pun dengan mudah dipenuhi. Akhirnya, tumbuh sebuah pohon cempaka kuning di
halaman rumah itu tanpa memutus tradisi cempaka putih di taman kanak-kanak.
Tak ada yang
abadi. Bahkan cempaka pun layu dalam setengah hari. Tradisi cempaka putih pun
kelihatannya sudah berakhir. Entah kapan. Namun anak-anak itu sepertinya sudah
sangat siap untuk mengenakan seragam putih merah mereka. Mungkin tradisi
cempaka putih harus menutup harinya di saat yang bernama perpisahan. Seakan tak
ada yang berhenti, seakan tak ada yang berpisah. Bebas. Tanpa ada tangis sedih
yang mengiringi, tanpa ada beban kenangan yang menahan. Dan mereka, anak-anak
taman kanak-kanak itu, melanjutkan perjalanan hidup ke sekolah dasar yang
berbeda-beda. Mengikuti asa, meraih cita-cita.
Masa
kanak-kanak tak bertahan lama. Dan seperti pohon cempaka yang tumbuh membesar
di halaman, anak-anak itu pun tumbuh dan berkembang. Artha dan Indi adalah
mereka yang tumbuh. Alam semesta mengembang, begitu pula jarak antar partikel
menjauh. Artha dan Indi kini sedang dalam perjalanan melupakan masa-masa kecil
mereka. Kenangan lama itu sedikit-sedikit tergusur materi pembelajaran yang
kian menumpuk. Artha melanjutkan sekolahnya ke sekolah negeri, sedangkan Indi
ke sekolah swasta. Perbedaan pun berlangsung bertahun-tahun dan mendukung otak
mereka menghapus kenangan di taman kanak-kanak itu. Untuk saat itu, mungkin
mereka telah lupa apapun tentang cempaka putih.
Tahun demi
tahun pun berlalu, Indi kehilangan pohon cempaka kuningnya dan Artha kehilangan
pohon cempaka putihnya. Tak satupun dari mereka yang sadar akan arti kehilangan
itu. Namun angin telah menunjukkan kuasanya. Perahu kehidupan Indi dan Artha
kembali dipertemukan. Tatapan mata yang pernah bertemu sepuluh tahun lalu itu pun
kembali dipertemukan. Dengan seragam putih abu mereka, tak satupun yang
mengingat tentang satu hal yang mempersatukan mereka dulu. Cempaka.
Seberapa lupa
pun kita akan sesuatu, satu hal saja mungkin bisa memanggil ingatan itu
kembali. Dan itu terjadi pada Indi. Ia bingung dengan sikap Artha akhir-akhir
ini. Artha sering menggodanya dengan skenario yang ia buat sendiri. Mirip
seperti anak-anak yang bermain rumah-rumahan di taman kanak-kanak, namun
kesannya tentu berbeda jika yang memainkannya kini telah berumur 16 tahun.
Dengan kawat yang ia temukan di lantai, Artha membuat sebuah cincin dan
seolah-olah hendak melamar Indi. Dengan bunga yang berasal dari vas, Artha
berlutut dan memberikannya kepada Indi. Bercanda. Satu kata yang pas untuk
menggambarkan situasi saat itu. Di tengah tugas-tugas yang kian menumpuk, satu
selingan sangat berguna untuk menyegarkan otak.
Bercanda.
Jika berlebihan, maka kesalahpahaman pun akan mengikuti. Mungkin ada keseriusan
di sana. Mungkin ada tatapan mata yang mencapai sudut yang pas. Mungkin. Tapi
bunga vas itu telah memanggil kembali sebuah ingatan. Indi mengingat sesuatu.
Indi mengingat pohon cempaka yang pernah tumbuh di halaman. Indi mengingat
teman laki-lakinya yang pertama kali memberinya bunga cempaka. Artha.
“Cempaka,” ucap
Indi dengan tatapan dalam sejenak membuat Artha diam kebingungan.
“Cempaka?”
tanya Artha di tengah kebingungannya.
“Iya. Masa
kau lupa? Kau kasi aku cempaka waktu TK. Inget?” ucap Indi dengan polosnya
mengutarakan apa yang ia ingat.
“Waktu TK?
Mana aku inget. Gila! Udah lama kali. Masa aku pernah ngasi kau cempaka?” kata
Artha sambil berusaha mengingat-ingat.
Itu sudah
lebih dari 10 tahun yang lalu. Dan akhirnya mereka berdua berhasil mengingat
lagi apa yang terjadi saat itu. Sekarang semuanya terasa berbeda. Terlalu
banyak kenangan di masa lalu yang terpikirkan kembali. Sedikit demi sedikit
kenangan tersebut berubah menjadi harapan. Seperti sebuah harapan untuk dapat
mengulang masa lalu.
“Mungkin
cempaka itu seperti petunjuk,” kata Artha kepada temannya, Sadhu.
“Hah?
Wahahahaha! Yang benar saja kau ini! Cempaka ya cempaka. Lagipula itu udah 10
tahun yang lalu kan? Apa yang bikin kau yakin? Mana mungkin dia suka sama kau.”
“Entahlah,”
kata Artha sambil menghela nafas.
Di tempat
lain, Indi pun bingung. Tak tahu apa yang harus ia lakukan dengan ingatan itu.
“Ciaaah!
Kenangan TK?! Wahahahaha! Dasar cempaka! Ada-ada aja,” kata Hani meledek Indi.
“Hhmm… Iya
iya,” jawaban singkat Indi namun penuh tanya di dalam benaknya.
Artha dan
Indi, mereka berdua mendapat ejekan yang sama. Keengganan muncul terutama Artha
untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya saat ini ia rasakan. Ia tak tahu
mengapa ia melakukan hal itu saat TK dulu. Yang ia tahu masa kecilnya telah
berbuat yang terbaik untuk masa sekarangnya ini. Sore itu Artha menceritakan
semuanya kepada Sadhu. Apa yang pernah terjadi, apa yang pernah ia lakukan, apa
yang akan ia lakukan, dan apa yang ia harap akan terjadi. Semuanya telah
diketahui Sadhu lewat telepon.
“Terus?” kata
Sadhu menanggapi cerita Artha.
“Kayaknya
sekarang waktu yang tepat, Dhu,” jawab Artha.
“Sekarang?
Besok aja kau tembak langsung. Kalau diterima ya syukur, kalau nggak ya
syukurin… hahahaha!” ejek Sadhu lagi.
“Tapi
menurutku, sekarang waktunya,” ucap Artha.
“Ya udah. Kau
chat aja. Beres kan?”
“Tidak.”
“Terus?”
Sadhu bingung dengan sikap temannya itu.
“Kalau nembak
langsung aku gak siap. Sekarang aku ke rumahnya bawa surat sama bunga cempaka,”
kata Sadhu mengutarakan idenya.
“Surat? Kayak
tukang pos aja. Terserah lah… Aku tak mau tau tentang ide gilamu itu.”
Sementara
hari semakin malam, Indi kehilangan beberapa lembar doublefolio yang harus dibawanya esok hari saat kemah. Itu
memaksanya untuk keluar rumah dan membeli beberapa lembar doublefolio di toko buku yang cukup jauh dari rumahnya. Indi pun
memacu sepeda motornya dengan kecepatan penuh.
Artha dengan
kebulatan tekadnya pun memacu sepeda motornya ke arah rumah Indi. Dengan sebuah
surat dan bunga cempaka kuning di genggamannya, Artha begitu bersemangat
mengendarai sepeda motornya. Ia merasa begitu senang, bercampur dengan rasa
takut, serta setengah rasa tidak percaya. Artha mulai membayangkan reaksi Indi
nantinya. Bayangan yang tak akan pernah terselesaikan dan tak akan pernah
terjadi.
Tepat di
depan gedung taman kanak-kanak yang sudah dibumiratakan, Artha tergeletak tak
bernyawa. Begitu pula Indi yang telah menghembuskan nafas terakhirnya. Sekuntum
bunga cempaka kuning pun terlepas dari genggaman Artha. Itulah yang membuatku
menghentikan langkahku untuk sesaat. Melihat posisi mereka seakan-akan Artha
tengah memberikan cempaka itu kepada Indi. Posisi tangan Artha seolah memberi,
posisi tangan Indi seolah menerima, dan cempaka itu tepat berada di
tengah-tengahnya. Aku memutuskan untuk mengambil cempaka itu dan membawanya ke
tempat yang aman. Sekarang aku mengerti arti cempaka ini bagi mereka. Bagi
kalian yang belum tahu, akulah Sadhu. Dan aku menyesal telah menjadi Sadhu yang
meledek Artha dan Indi. Cempaka dan surat yang aku ambil tadi kuserahkan kepada
Indi di hari pemakamannya. Surat yang tak pernah kuketahui isinya itu pun turut
terkubur bersama Indi. Begitu pula dengan cempaka terakhir yang diberikan Artha
untuk Indi.
Artha, Indi,
dan cempaka itu telah mengajarkanku sesuatu. Mungkin apa yang kita perbuat di
masa lalu membuka jalan baru di masa kini atau di masa yang akan datang.
Mungkin tak selamanya melupakan masa lalu itu menjadi hal yang baik. Mungkin
cinta telah mengetahui waktu dan tempat yang tepat bagi dirinya. Dan cempaka
terakhir ini khusus mengajarkanku, bahwa tak ada satu pun yang abadi. Seperti
bunga-bunga cempaka yang layu setelah setengah hari, kisah cinta pun harus
berakhir di sini. Selamat tinggal Artha! Selamat tinggal Indi!
Karya: Putu Amarta Sadwika Sukma
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
0 komentar:
Posting Komentar