
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama
pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles)
sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
“Ting tong!” Dering Line di ponselku membangunkanku dari tidur
siang yang tidak kuinginkan. Syukurlah! Tunggu, “Pesan Baru Diterima”. Kuharap
itu dia. Setelah sekian lama semoga dia sadar apa yang telah ia tinggalkan. Aku
pun bergegas menyentuh layar iPhoneku tanpa suara. Cuihh!! Sama sekali tidak
diharapkan. Mengecewakan!
Aku menarik nafas dan menghembuskannya berharap
emosiku dapat kukendalikan kembali. Kapan? Kapan aku mendapatkannya kembali? Ya
sudahlah! Tak ada artinya aku berkeluh pada diriku sendiri. Sudah! Sudah! Sudah
kucoba untuk mengungkapkan apa yang kupermasalahkan padanya. Langsung ataupun
tidak. Sudah! Namun sia-sia. Buang-buang waktu! Tak akan kudapatkan kembali apa
yang selalu kuterima tak lebih dari satu semester yang lalu. Hinakah aku? Jika
seorang perempuan menginginkan perhatian yang lebih dari kekasihnya? Hinakah aku?
Hina ataupun tidak, aku memilih menjadi diriku
sendiri. Seolah-olah aku ingin berteriak padanya, “HEY! KAMU YANG DI SANA!!
IYA, KAMU! Kenapa kamu berubah begitu cepaaat??! Hah?!! Ada apa?! Tahukah kau?
Dengan begini kau telah menyiksa diriku. Diriku yang kuanggap kekasihmu!”
Teriakan itu tertahan di pangkal leherku. Turun ke
bawah, menusuk, mencabik-mencabik setiap kenangan indah yang telah diukirnya di
dadaku. Izinkan aku menghembuskan nafasku dan menenangkan diri. Aku harus
berpikir jernih. Berpikir yang betul betul berpikir, tanpa rasa hanya logika.
Tenang… tenang… tenang… berpikir… berpikir…
Sudah kuputuskan! Jantungku kembali berdetak
kencang. Ini keputusan yang sangat berat. Aku benar-benar… suka padanya, entah
apakah itu cinta namanya. Tapi jika dia terus seperti ini, walaupun “katanya” dia
juga benar benar menyukaiku, apa boleh buat. Ini hakku. Setidaknya suatu saat
aku akan melupakannya. Berakhir.
..__..
2025. Musim
dingin di awal tahun, sepuluh tahun kemudian. Udara
dingin kota Paris seakan-akan menembus kulitku. Memaksaku untuk berlindung
dibalik tembok, di hadapan tungku api. Menunggu. Sungguh aku ingin cepat-cepat
kembali ke Bali. Tapi dia tak kunjung datang. Aku kira orang-orang Eropa
disiplin dengan waktu mereka. Tunggu, ada yang aneh. Berkali-kali aku meneleponnya
tanpa jawaban. Sesibuk itukah dia? Janji. Itu yang ia katakan kemarin. Yang
benar saja! Kalau begini ceritanya, aku bisa ketinggalan pesawat. Aku punya
kaki, aku bisa jalan sendiri!
“Taxi!” teriakku ke sebuah mobil kuning sambil melambaikan
tanganku.
“Airport,
please! I’m in hurry!” kataku
berharap supir taksi ini mengerti bahasa Inggris. Maklum, aku di sini baru
beberapa minggu. Menemani kekasihku dengan urusan bisnisnya sementara aku
berjalan-jalan menikmati indahnya kota mode dunia ini. Karena terburu-buru,
wajarlah jika aku melupakan bahasa Perancisku.
Jalanan kota Paris yang lenggang ini sepertinya
mendukung perjalananku. Satu-satunya yang dapat menghentikan taksi ini adalah
lampu merah. Okelah, aku menyerah di negara dengan hukum yang sangat ketat ini.
Sesaat aku melihat sepasang kekasih sedang melangkah dengan mesranya di zebra-cross. Meskipun aku datang ke kota
paling romantis di dunia ini bersama kekasihku, tak sempat sekalipun kami
berjalan-jalan bersama. Apa boleh buat, ia begitu sibuk dengan urusan bis…..
Tunggu! Aku kenal orang itu! Aku kenal laki-laki itu! Brengsek!! Katanya dia
pergi untuk urusan bisnis. Ternyata ini bisnisnya! Dasar bedebah! Semua
laki-laki sama! Keturunan Eropa, pribumi, Cina, Afrika sekalipun sama! Aku muak
dengan semua penghianatan itu! Aku muak harus terjebak berkali-kali dalam
kata-kata manis dari lidah para setan itu. Bedebaaaah!!!
Aku kehabisan kesabaranku. Kurasakan seluruh
darahku berkumpul di ubun-ubun. Ingin kutampar wajahnya dan kucabik-cabik mulut
anjingnya itu. Seketika itu pula, aku membuka pintu taksi dan berlari ke
arahnya. Tak kupedulikan seketat apapun hukum di negeri ini. Tak sadar mulutku
pun berteriak, “Fu…….”
..__..
Aw! Sakit. Sekujur tubuhku terasa sakit. Aw!
Kepalaku terasa berat sekali. Apa yang sebenarnya terjadi? Huh! Aku tak dapat
bergerak.
“Claudya… Astungkara kamu sadar, Nak…” terdengar
suara mamaku di sebelahku. Aku menoleh ke arahnya. Iya, aku sudah menoleh.
Tunggu, aku sudah membuka mataku. Iya, sudah! Tapi kenapa aku tak dapat melihat
apapun. Gelap. Gelap. Ada apa ini? Ada apa dengan mataku? Tak sadar aku meronta
dan berteriak histeris, “Maa! Maaa! Mamaaaa! Mataku kenapa, Ma??!! Maaa!
Mamaaaa!!”
“Sshh… Tenang, Claudya. Tenang…” ada banyak suara
di ruangan ini. Kenapa ruangan ini begitu ramai? Dimana aku sebenarnya? Aku tak
tahan lagi menahan air mataku. Aku menangis. Persis seperti anak kecil di
usiaku yang akan menginjak 26 tahun ini. Bukan berarti aku kekanak-kanakan.
Dengan keadaan seperti ini, aku tahu aku pasti buta. Tapi, sumpah… sumpah… aku
benar-benar takut kegelapan. Ya Tuhan, apa yang terjadi???
“Kamu tertabrak mobil sewaktu kamu di Paris, Nak.
Syukurlah kamu bisa dirawat di Bali,” ucap mamaku dengan tenang.
“Sudah berapa lama aku di sini, Ma?”
“Kamu sudah kritis dua bulan…..” hanya itu yang
kudengar. Dua bulan? Selama itu kah? Sejenak aku ingin menanyakan bagaimana
kabar Roy. Namun kubuang jauh-jauh keinginan itu mengingat dialah penyebab dari
kecelakaan ini. Dialah penyebab kebutaanku ini. AAARRGGGHH!! Aku hanya bisa
berteriak dalam hati.
“Ma, aku ingin bisa melihat lagi,” kataku polos
seperti seorang anak kecil yang sedang meminta mainan pada mamanya.
“Sabar, Nak. Kita sedang menunggu donor kornea
untukmu. Berdoalah. Semoga Tuhan memberikan yang terbaik,” kata-kata mamaku
begitu sejuk. Namun logikaku kembali berperang. Setahuku, sangat jarang orang
yang ingin mendonorkan matanya. Aku tertegun. Aku membenci kegelapan. Aku
takut. Namun aku harus hidup di dalamnya.
Gleg. Aku mendengar seseorang memasuki ruangan ini.
“Kamu tidak perlu menunggu terlalu lama lagi.
Tersenyumlah! Papa sudah menemui orang yang bersedia mendonorkan korneanya
untukmu,” kata-kata Papa seketika membuatku tersenyum. Akhirnya… aku tak perlu
hidup buta selamanya. Aku akan bebas. Iya, bebas!
Hari-hari menjelang operasi. Tetap saja aku harus
menderita dengan kegelapan ini meskipun tinggal menghitung hari. Satu hari pun
terasa dua kali lebih lama. Tak jarang aku mengalami mimpi buruk, siang ataupun
malam. Dan ketika aku sadar dan ingin membuka mataku, aku tetap melihat
kegelapan. Satu-satunya yang dapat kulihat adalah mimpi itu. Sungguh menakutkan
harus terjebak di dalam mimpi setelah aku sadar meskipun hanya untuk beberapa
saat. Ya Tuhan, percepatlah operasi itu...
Operasi berjalan lancar. Ini adalah hari dimana aku
dapat membuka penutup mataku. 8 Maret 2025, tepat di ulang tahunku yang ke 26
akhirnya aku dapat melihat lagi. Meskipun aku masih harus duduk di kursi roda,
dapat melihat kembali adalah kado ulang tahun terindah yang pernah kudapat.
Dalam hati aku pun bertanya-tanya, siapa yang rela disumbangkan kornea matanya
untukku? Tidakkah ia menjadi buta?
“Tiga…dua…satu!” itu tandanya aku harus melepas
penutup mataku. Ini malam hari. Banyak lampu hias di taman rumahku lengkap dengan
kue dan lilin di hadapanku. Fiuhh!! Kutiup lilin berbentuk angka 26 itu dan
seketika kembang api meledak-ledak di atas kepalaku. Sungguh ulang tahun yang
sangat indah. Semuanya indah sekali. Hampir saja aku tak dapat melihat hal ini
selamanya. Hampir. Oh iya! Orang itu? Siapakah yang mendonorkan pengelihatannya
untukku? Aku mengedip-ngedipkan mataku. Tunggu! Ada yang aneh. Aku hanya dapat
melihat dengan satu mataku. Sesaat aku merasa sedih, namun itu berarti aku
tidak terlalu merepotkan orang lain. Setidaknya orang itu tetap dapat melihat
dengan salah satu matanya.
“Ini dari malaikat yang memberikan separuh
pengelihatannya untukmu. Ganteng lho…” kata mamaku sambil memberikan sepucuk
surat kepadaku. Surat itu cukup membuatku tertegun. Sangat. Ternyata…
Hai, Claudya!
Senang bisa memberikan apa yang kupunya kepadamu. Tapi, maaf aku hanya bisa
memberikan separuh. Aku Anand. Semoga kau masih ingat siapa aku. Sepuluh tahun
yang lalu kita satu SMA dan menjalin hubungan. Ingat? Tapi entah kenapa kau
berubah. Kau mengakhiri segalanya di saat aku sesungguhnya benar-benar
menginginkanmu. Sebenarnya aku ingin sekali mengungkapkan semua itu, namun
memang aku payah dalam berkata-kata. Semoga dengan membagi apa yang kupunya
padamu, kau bisa lebih yakin denganku. Aku ingin kita bahagia bersama. Aku
dengan sebelah mataku dan kau dengan sebelahnya lagi. Aku ingin kita saling
melengkapi.
Maafkan aku jika dulu aku tak memperhatikanmu.
Maafkan aku jika tak pandai berkata-kata. Bahkan surat ini pun kutulis dengan
bantuan temanku.
Anand Diputra
..__..
Kini aku sedang berada di ujung iPhoneku dengan
kenyataan di tahun 2015. Yang kau baca barusan hanyalah bayang-bayang yang
terjadi di dalam pikiranku beberapa detik yang lalu. Aku tengah dalam kebulatan
tekad untuk mengakhiri semuanya denganmu dan mengikuti bayangan itu. Begitu
nyata. Dan akan menjadi nyata jika aku meneruskan gerakanku. Nuraniku
menghentikan gerakku untuk ini. Sekali lagi, jangan paksa aku untuk mengakhiri
semuanya. Jangan terus berdiam di seberang sana seakan kau begitu bodoh. Jangan
paksa aku untuk mengikuti bayang-bayang itu. Tolong… Jangan… Jika aku salah,
tolong katakan apa salahku. Aku benar-benar minta maaf untuk itu. Satu hal yang benar-benar kuinginkan adalah “kita”.
Karya: Putu Amarta Sadwika Sukma
Illustration by: www.flickr.com
Illustration by: www.flickr.com
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
0 komentar:
Posting Komentar