
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Inspiring Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
Pagi yang sejuk di taman yang indah. Dari kejauhan, kulihat
dua orang laki-laki yang berdiri berhadapan. Tunggu dulu, sepertinya mereka
memperebutkan sesuatu. Jangan-jangan, mereka akan berkelahi di sini. Tapi, apa
yang mereka berdua perebutkan? Aku tebak mereka baru SMA. Dasar anak SMA.
Apalagi yang diperebutkan selain… Yap! Samar-samar akhirnya aku melihat
biangnya. Seorang perempuan yang sedang menangis duduk di balik mereka berdua.
Hahaha… Yaaa… Asal kau tahu saja. Aku sudah pernah mengalami hal itu jauh
sebelum ini. Tak percaya?
Aku tak begitu cantik, bukan primadona di sekolah,
dan bukan juga seorang yang berprestasi tinggi saat itu. Tapi bukannya aku
sombong, satu hal yang pasti, aku sudah punya pacar. Di umurku yang masih
sangat belia, aku sudah bergandengan tangan dengan seorang laki-laki yang
kusuka. Cinta? Wahwah… Kalau yang itu sih aku belum tahu pasti. Hahaha… Dasar
anak SMP!
Iya, aku masih duduk di bangku SMP saat itu. Dan kau
tahu? Itu adalah masa-masa yang tepat untuk merangkul para monyet. Hahaha… Pacaran? Boleh lah boleh lah. Motivasi. Satu
kata kunci itu yang sebenarnya menjadi dasar. Tapi, ya sudahlah…
Siang itu tanganku kembali digenggam. Ya, dialah
pilihanku. Jika aku melihat dengan mata dan seluruh logikaku, mungkin ia tak
layak kusebut rupawan. Syukurlah, seluruh gejolak perasaanku telah menutup
aliran nalar di jalan pikiranku. Toh tidak ada gunanya aku berlogika ria dan
mengabaikan kesenangan masa remaja ini. Deg-degan, senang, bangga, nyaman, dan
apalah itu selalu bercampur, bersekutu menjadi satu dan itulah yang kurasakan
saat itu.
Setia. Iya, itu namanya. Syukurlah bukan hanya
sekedar nama. Sifatnya pun sungguh demikian. Buktinya, hari itu, kami sudah
bersama selama 14 bulan. Bangga bisa menjalin hubungan selama itu. Lucunya tak
pernah bosan aku mendengar, tangannya tak pernah bosan aku menggenggam, dan
matanya tak pernah bosan aku menatap. Unik. Mungkin itulah kata yang tepat.
Mungkin itulah yang bisa mempertahankan kata “kita” sejauh ini. People said, “The Winner is Different”, then
I said, “He wins me because he is different.”
Berbeda. Iya, begitulah dia, aku, dan kami. Satu dua
bulan, bulan demi bulan pun kami jalani. Semakin lama semakin nyaman, semakin
lama semakin erat. Bosan? Iya, begitulah adanya jika kisah cinta dialami oleh
seorang anak dari SMP sampai SMA. Hahaha… Aku masih menutupi diriku. Aku masih
menutupi ceritaku. Kau tahu, semuanya telah menjadi rahasia umum. Kau tahu,
bahwa kodrat seorang perempuan adalah memilih untuk menerima dari sekian
pilihan yang ada. Dan masihkah kau tahu bahwa memilih itu sulit?
Seandainya aku seorang laki-laki, maka aku akan
mendekati seorang perempuan, mendekatinya, mengungkapkan perasaanku, dan
menunggu responnya. Simpel. Jika diterima, syukur. Jika tidak, ya tinggal pergi
dan cari yang lain. Betapa mudahnya menjadi laki-laki. Dan pikiranku terus
bersarang karena aku seorang perempuan. Perempuan yang harus selalu menatap
gengsi laki-laki yang kusuka, pura-pura tak mau, menunggu, dan menunggu. Jika
ditembak, syukur. Jika tidak, apa mau dikata? Aku harus larut dalam sebuah
penantian.
Lho, masalahnya apa? Aku sudah punya pacar sekarang.
Aku sayang, dia sayang. Semua sudah lengkap. Apa masalahku? Apa? Setidaknya
dengan memiliki seorang laki-laki di sampingmu, belum tentu kamu akan dibuat
senang seratus persen olehnya. Sudah kubilang, kodrat perempuan adalah memilih.
Dan setiap ada pilihan yang terpilih, ada pilihan yang tersisih. Pernahkan kau
bertanya siapa yang tersisih?
Tak dianggap, dilupakan, tersiksa dalam kesendirian.
Berlebihan memang tapi itulah yang terjadi. Tersisih. Bukan maksudku membuatnya
seperti itu. Aku tak ingin siapa pun seperti itu karena aku. Hanya karena aku.
Dan oh Tuhan, mungkinkah aku melakukan sebuah kesalahan?
Dia datang. Datang dengan perasaan yang lebih. Dia
yang lain. Dia yang memang tak menjadi pilihanku. Andre. Iya, nama yang umum
bukan? Tapi ini Andre yang khusus. Aku heran dengan sifat laki-laki, semua
laki-laki. Entah mengapa mereka begitu teguh, begitu kokoh. Entah itu sok teguh
atau memang sungguh-sungguh, aku hanya heran melihat diri mereka membiarkan
diri mereka sendiri tersiksa.
Andre. Mengapa kau datang lagi? Lagi dan terus
menerus? Sungguh teguh tanpa mengeluh. Meski aku sudah menjauh, tak pernah kau
biarkan aku jauh. Selalu. Terus. Tak bosankah dirimu? Tak bosankah dirimu kalah
seperti ini? Masih banyak perempuan yang lain! Kau bisa, Ndre!
Aku tahu kau bisa. Bukannya aku sok tahu, tapi
bukankah kau pernah berhasil? Kau sudah pernah berpacaran setelah itu. Singkat.
Tapi apakah itu berarti kau gagal? Itu berarti kau hanya belum menemukan orang
yang tepat. Haruskah yang tepat itu aku? Kau sudah pernah menang. Kau sudah
pernah di atas. Mengapa kau banting dirimu jatuh ke bawah? Lagi. Mengapa kau
ingin terus kalah?
Andre. Andre. Andre. Aku pikir kau sudah lupa sejak
saat itu. Bodoh! Aku sudah menentukan pilihan. Dasar laki-laki bodoh! Ini sudah
dua tahun dan kau sama sekali belum menyerah. Kau terus memandangku lain. Kau
masih saja menunggu. Dasar bodoh! Bodoh! Bodooooh!!!!!!!
Berikan aku waktu mengusap air mataku. Maaf, aku tak
bisa mengontrol emosiku. Maaf, maaf, maaf. Maaf aku mencaci dirimu seolah-olah
hanya kaulah yang salah. Aku sangat sangat menghargai perasaanmu itu. Setia?
Iya, Setia memang menjadi pilihanku. Setia yang benar-benar pas untukku. Dan
kurasa……
Aku membutuhkan satu tenggang waktu untuk berpikir,
merenung, dan memutuskan apa yang harus kulakukan. Sungguh, aku ingin hidup
tenang. Tapi di masa remaja ini, sungguhpun aku tak bisa. Dan inilah
keputusanku. Bertahun-tahun kubuang waktuku dalam lautan perasaan. Kini kucoba
untuk meraih permukaan. Aku harus menyelesaikan semuanya. Harus. Aku tak tega
berbahagia di atas orang lain yang menginginkan kebahagiaan itu dalam
penderitaan. Aku tak mampu untuk melihat seorang susah hanya karena aku
seorang. Dan yang kupilih adalah…
Aku menarik nafas panjang. Kisah yang lama kututupi
ini akan mulai menemui jalan keluarnya. Masalah selesai! Kupikir demikian. Tak
ada lagi yang mengikatku. Kini kubiarkan semuanya adil. Kubiarkan mereka
merasakan hal yang sama. Hak suaraku hanya satu dan aku hanya mampu memilih
salah satunya. Masalahnya, “keduanya atau tidak sama sekali.”
“Pelampiasan…,” kata keji itu keluar dari mulutnya.
“Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan yang sama dengan kalian.” Alasan macam
apa itu?! Jadi selama ini?? Bullshit!
Oke..oke… Untuk saat itu aku bisa menerima alasannya.
Namun, sesaat setelah kucoba mengerti, orang itu datang. Rumit memang. Tidak
ada kisah cinta yang tidak rumit. Dan apakah kisah yang rumit ini dapat menjadi
sebuah kisah cinta?
Dia bukan
seorang laki-laki. Perempuan? Lalu bagaimana? Sayangnya Andre tak datang
sendiri. Orang itu datang. Tia. Bersama dengan semua masalah baru. Kini justru
semakin rumit. Oke, aku dan mereka hanyalah dalam pertemanan, persahabatan
mungkin. Tapi, apakah nada cemburu diperbolehkan dalam sebuah pertemanan atau
ya… mungkin sebuah persahabatan?
Nyatanya hidupku tak pernah tenang. Tia menginginkan
Andre. Sangat. Andre dan Setia sudah jatuh padaku. Dalam. Tapi aku, justru
jatuh ke dalam jurang rasa bersalah. Bingung. Satu hal yang membuatku akhirnya
menutup segala kemungkinan yang ada. Sudah! Cukup! Aku tidak ingin lagi
merasakan semua ini. Tidak akan! Tidaaaaak!!
Kicauan burung di atas kepalaku membangunkanku dari
khayalan masa lalu. Tak terasa aku berdiri terlalu lama. Rasa ngilu sudah mulai
merambah sendi-sendi lututku. Tanganku yang keriput ini mulai menggerakkan
tongkat yang selalu setia membantuku. Sambil aku berjalan pelan, masih kulihat
mereka yang di sana belum menyelesaikan masalahnya. Masalah itu tak akan pernah
selesai sampai ada yang mengalah. Mengalah, bukan menyerah. Dan sampai di titik
ini, akulah yang mengalah. Langkah-langkahku kini menuju ke sebuah panti.
Orang-orang seumurku telah menunggu. Orang-orang yang sudah kehilangan bahkan
masih menunggu rasa cinta di masa senja. Hingga malamku tiba, aku akan tetap di
sini, tanpa cinta, namun berbalut kasih sayang.
*PERHATIAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Inspiring Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
0 komentar:
Posting Komentar