Butir pasir berkumpul bersama
Bersama dalam lautan dirinya
Tak sanggup
Ia menahan panas dalam hatinya
lalu ia lepaskan
dan membakar ibu pertiwi
Mentari seakan bersekutu
Dalam hamparan api cokelat ini
membuat ragaku terbakar
membara hatiku
dan tak sanggup lagi aku berpikir
berpikir sebaik yang aku pikirkan
Air...
Bersama dalam lautan dirinya
Tak sanggup
Ia menahan panas dalam hatinya
lalu ia lepaskan
dan membakar ibu pertiwi
Mentari seakan bersekutu
Dalam hamparan api cokelat ini
membuat ragaku terbakar
membara hatiku
dan tak sanggup lagi aku berpikir
berpikir sebaik yang aku pikirkan
Air...
(Puisi karya Amarta Sadwika Sukma)
Seorang cendekiawan terjebak dalam panasnya gurun pasir sesuai dengan ilustrasi dalam puisi di atas. Tidak ada yang tahu kenapa ia bisa terjebak di sana. Sekarang yang ia pikirkan dan inginkan hanyalah air. Kemudian ia berusaha untuk mencari sumber air. Namun apa daya, itu gurun! Ia adalah seorang yang pintar, dia tahu tak ada satu tetes air pun dapat ia peroleh di gurun, kecuali itu Oase. Fatamorgana pun berkali kali menipunya. Ia merasa kecerdasannya menurun bagaikan menguap di tengah panasnya gurun. Sampailah ia pada rasa putus asa. Untuk pertama kalinya ia berdoa, "Tuhan, tolonglah hambamu ini."
Dari kejauhan ia melihat seseorang yang berkuda. Ia berusaha menarik perhatiannya. Ternyata orang itu adalah seorang pangeran. Pangeran itu tidak sombong, ia juga sopan kepada cendekiawan yang lebih tua darinya. "Anak muda, dapatkah kau menolong aku? Aku yang kehausan dalam bara api ini?", kata cendekiawan. Sang pangeran menjawab,"Jika aku bisa memberimu sesuatu, hanya inilah yang bisa kuberikan saat ini.", katanya sambil memberikan sepasang sepatu. Cendekiawan,"Bodoh! Dasar pangeran bodoh! Aku haus. Memang aku bisa minum sepatu? Pergi sana!", caci sang cendekiawan sambil melempar sepatu pangeran. Sang pangeran pun pergi meninggalkan cendekiawan.
Sang cendekiawan semakin bingung. Ia berada di tengah gurun dan tak mungkin pulang. Maka ia harus melanjutkan perjalanannya. Langkahnya terhenti saat ia menemukan seseorang yang sedang istirahat. Karena orang itu lebih tua darinya, ia pun meminta tolong dengan sopan. "Permisi, Pak. Bolehkan saya minta air sedikit. Saya sangat haus.", kata cendekiawan. "Maafkan saya, Nak. Bekal air saya hanya cukup untuk saya. Perjalanan saya masih jauh. Jika ada yang dapat saya berikan saat ini, terimalah topi saya jika kau mau.", katanya sambil memberikan topi. "Dasar orang tua bodoh! Tengik! Makan topi itu topi!", caci cendekiawan yang hatinya sudah membara.
Sang cendekiawan kemudian melanjutkan perjalanannya. Ia merasa sangat beruntung setelah melihat Oase di hadapannya. Anehnya, Oase tersebut dijaga ketat oleh militer. Rasa haus mendorongnya untuk meminta ijin kepada kepala militer itu. Kepala militer itu menjawab,"Hanya orang yang memakai sepatu dan topi yang boleh meminum air ini!" Jawaban sang kepala militer membuat cendekiawan tertegun dan teringat kejadian-kejadian sebelumnya. "Tuhan, ternyata kau telah jawab doaku. Namun aku tak sadar, karena kebodohanku. Sekarang terimalah aku di sisimu." Cendekiawan mengakhiri riwayatnya di Oase tersebut.
Amanat: Apa yang kau kira tidak perlu saat ini, percayalah Tuhan memberikannya demi masa depanmu
Mungkin di antara pembaca, banyak yang sudah mengenal cerita ini. Cerita ini saya adaptasi dari cerita yang disampaikan Bapak Ketut Bawa, Kepala SMP N 1 Singaraja saat menyampaikan pengarahan. Terimakasih, Pak. Atas cerita yang sangat memotivasi kami ini!
Terimakasih pembaca!!
Kritik/saran: langsung ketik di kolom komentar, Amarta Sadwika Sukma (via facebook), @AmartaSadwika (Twitter), @amarta_sadwika (ID Line)
0 komentar:
Posting Komentar