Halo, remaja-remaja yang haus akan bahan bacaan yang menarik! Setelah beberapa bulan Site of Interesting Teens' Articles (sebelumnya: S- Inspiring T- A-) sepi artikel, kali ini pass-on akan membagikan sebuah cerpen, "Cerita di Atas Sepeda". Cerita pendek "Cerita di Atas Sepeda" adalah cerpen karya Amarta Sadwika Sukma, Putu dan sudah dipublikasikan sebelumnya di Majalah Citra Remaja Media Komunikasi SMP Negeri 1 Singaraja Edisi Juli-Desember 2013. Bagi teman-teman yang belum baca, silahkan klik judul posting atau "lanjut baca" untuk membaca.
*PERINGATAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
"Bangun,
Kak! Bangun! Udah jam 7 nih!,” suara adikku memecah tidurku. Tak
sempat aku berkata bahkan hanya sekedar terimakasih untuknya. “Ya Tuhan,
bagaimana mungkin aku telat bangun?,” pikirku. Tak sampai 5 menit, kakiku sudah
bersiap di pedal sepedaku. Namun, suara ibuku menghentikan gerakku,“Mau kemana?
Gak sarapan dulu?”. “Gowess, Bu. Gak usah lah. Udah telat nih.
Nanti makan di jalan aja,”
jawabku. Tak pernah sebelumnya aku berbohong pada ibuku, namun hari ini,
mungkin suatu saat ibu akan mengerti dan memaafkanku.
Kukayuh sepedaku dengan kencang. Tak kupikirkan
perutku yang kosong ini. Awan mendung di atas kepalaku seakan bersimpati
denganku. Menit-menit itu, aku masih menyesali kemalasanku pagi ini. Memang,
kemarin adalah malam yang panjang. Namun, kupikir hal itu tak layak kujadikan
alasan di hari yang sangat penting ini. Jujur saja, aku pun tak tahu mengapa
kuanggap hari ini sangatlah penting. Aku tak tahu yang kulakukan sekarang,
entah itu benar atau salah. Kemana aku pergi hari ini? Saat memikirkan itu, tak
sengaja mulutku berkata, “Yang benar saja!”
Keraguan melintas di kepalaku. Entahlah, mungkin
lebih tepatnya aku bingung. Apakah itu sebuah kesadaran bahwa jalan ini salah
atau hanya godaan yang melintas, aku memutuskan untuk berhenti. Aku berusaha
berpikir dengan otakku. Hatiku terlalu banyak ambil andil belakangan ini.
Namun, entah itu hasil keputusan otakku atau hanya kata hatiku, kukayuh
sepedaku lagi. Dengan tujuan yang sama, tujuan yang tak kuketahui mengapa aku
harus ke sana dan meninggalkan sarapan pagi yang lezat buatan ibuku. Beberapa
meter setelah tempatku berhenti tadi, aku berhenti lagi. Bukannya aku bingung
lagi, justru kini hatiku mantap, dan otakku kompak bersamanya. Aku membuka tas eiger kecilku dan kulihat apakah
barangnya sudah kubawa. Syukurlah, Tuhan menghendaki ini.
Lima belas menit sudah sejak aku meninggalkan
rumahku. Kupikir sepuluh lagi dan aku akan sampai di depan rumahnya. Kulihat
arloji hitamku. Oh tidak, aku telat satu jam dari janjiku. Kuharap dia mau
menunggu walaupun aku tahu dia cukup bijak untuk lebih memilih tidak ketinggalan pesawat. Aku mengayuh
sepedaku lebih cepat lagi walaupun kurasa tak ada cukup tenaga lagi untuk itu.
Saat itu aku sadari, hati itu memberikan energi yang tidak diberikan perutku.
Beberapa meter lagi dan aku sampai.
Rumah yang besar itu tampak sepi. Sejenak muncul
rasa takut dalam benakku. Mungkinkah dia sudah pergi? Entahlah, aku tak tahu.
Aku harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Aku hanya berdiri di depan
gerbang rumah itu sampai seseorang keluar dari rumah dan masuk ke mobil. Aku
pikir itu dia. Leganya! Sedetik kemudian aku mengambil ponsel samsungku yang belum sempat kubuka dari
tadi untuk menghubunginya. Hancur aku saat aku membaca sms darinya. “Maaf, kak. Tadi
aku telepon gak diangkat. Ternyata pesawatnya jam 10. Aku udah jalan. Jadi gak
usah ke rumah tanteku ya… Makasi untuk semuanya ya kak! Oh iya, Tintinnya
dibawa aja. Pakai kenang kenagan. Bye! I’ll miss you… :*” Mobil itu pun keluar
dari rumah itu. Aku melihat mobil itu seakan dia di dalamnya dan SMSnya
hanyalah sebuah kebohongan. Namun aku begitu bodoh, mana mungkin itu terjadi.
Perjalanan pulang terasa sangat berat. Kakiku lemas
dan air mataku mulai menetes. Langit pun bersimpati denganku sampai terasa aku
mulai basah. Hatiku tak mampu membendung terlalu banyak rasa. Tak ada lagi
energi dari sana dan perutku pun sudah kosong. Tiada hal lain yang dapat
kulakukan selain mendengarkan lagu sambil
mengenang semuanya kembali.
Teman-temannya memanggilnya Laksmi. Aku pikir dia
tak terlalu cantik ataupun pintar. Bukan juga anak yang populer di sekolah.
Namun namanya tak berbohong, Laksmi selalu dapat membuatku bahagia. Pertama
bertemu, memang itu sebuah ketidaksengajaan. Tetapi, bukankah ketidaksengajaan
sering kali membuahkan hal-hal besar? Kami jarang bertemu karena ia kelas VII
dan aku kelas VIII. Tentunya kami terlihat masih sangat muda dengan seragam
putih biru itu. Namun, tidak ada yang terlalu muda untuk saling menyukai. Kami
hanya bertemu beberapa hari seminggu pada sore hari. Itu pun untuk pembinaan,
karena kami berada di bidang lomba yang sama. Setiap bertemu, aku tak lupa
untuk meledek dan mempermainkannya. Aku dan beberapa temanku kemudian tertawa,
namun ia hanya tersenyum masam padaku. Mengingat hal itu, aku hanya bisa
tersenyum dan tertawa kecil sambil mengayuh sepedaku di jalanan kota. Tak
peduli apakah orang-orang menganggapku sudah gila.
Hari demi hari, kami semakin akrab. Setelah SMS, chattingan menjadi rutinitasku
dengannya. Sampai Senin itu, aku menyatakan aku suka padanya. Saat saat yang
mendebarkan, namun hatiku bersorak saat dia menyatakan perasaan yang sama.
Cinta monyet pun terjalin walau kami bukan monyet. Sejak saat itu, hubungan
kami semakin dekat atas dasar suka sama suka. Cinta? Yang benar saja! Kami
masih terlalu kanak-kanak untuk hal itu meskipun kata I Love You sudah sering terucap. Hari-hariku kemudian berlalu
dengan manis bersamanya. Banyak hal indah kita lewati bersama. Kadang marahan, namun aku selalu tak kuat
lama-lama bertengkar dengannya. Semua kenangan itu tak dapat kuceritakan
satu-satu, yang jelas semuanya berjalan begitu seru dan sangat mengesankan. Aku
tak bisa menuliskannya menjadi sebuah rangkaian kata, namun aku yakin semua orang
akan mengerti.
Aku pun mengayuh sepedaku melewati sebuah trotoar di
kota. Aku ingat, di sanalah aku tahu bahwa ia tak akan terus tinggal di Bali.
Laksmi adalah seorang perempuan yang tangguh, mandiri, dan menyukai tantangan.
Sejak SMP, ia tinggal di kotaku yang jaraknya ribuan kilometer dari mama, papa,
dan adik-adiknya. Pada saatnya nanti ia akan kembali ke kota asalnya. Setelah
lulus SMP adalah waktu yang menurutnya tepat. Aku mengetahui hal itu tepat di
tempatku menghentikan sepedaku saat ini dari seorang teman baiknya. Terkejut
memang, apalagi saat itu hubungan kami sedang tak baik. Itulah kenyataan,
kadang sesuatu yang indah menjadi terlalu indah untuk berakhir dengan indah
pula. Kecemasan pun meliputiku detik-detik berikutnya. Dia akan pergi. Tetapi
aku mencoba mengambil sisi positifnya, sejauh ini ia telah berhasil
memotivasiku dan mewarnai hari-hariku.
Lima belas bulan sudah sejak hari Senin yang
membahagiakan itu. Dan kini aku melewati gerbang sekolahku tempat ia terakhir
kali melihatku mengenakan celana pendek biru itu. Iya, kenyataan yang terjadi
adalah aku yang harus meninggalkannya lebih dulu. Tak mungkin aku berharap tak
lulus. Setidaknya, meninggalkan lebih baik daripada ditinggalkan. Setelah itu,
aku diterima di SMA favorit di kotaku. Yang tak dapat kusangka adalah kami
masih bersama meski jarang bertemu kecuali melalui jejaring sosial. Kini aku
merasa pantas bagi cinta remaja. Aku sudah mengenakan celana panjang abu-abu,
walaupun roknya masihlah berwarna biru. Hari-hari berikutnya memang tak seindah
sebelumnya, namun tetaplah berwarna karena ia tetap bersamaku.
Waktu berlalu begitu cepat dan kini saatnya ia yang
pergi. Setelah acara perpisahan hari ini, ia akan pergi besok. Aku tak mampu
menjelaskan perasaanku waktu itu. Semuanya bercampur. “Mengapa secepat ini?”
pikirku. Malam minggu itu sungguh terasa panjang. Aku chattingan dengannya sepanjang malam seakan tak ingin berpisah.
Saat aku melihat ke rak buku di kamarku. “Aduh, lupa aku kembaliin,” kataku ketus. Sebuah buku komik serial Tintin terlihat
jelas dari tempatku berbaring. Aku berjanji akan mengembalikannya besok pagi
jam setengah tujuh sebelum ia berangkat ke bandara. Aku tak ingat jam berapa, kemudian
aku tertidur malam itu setelah mengucapkan “Good
night! Sweet dream!” padanya. Itu akan menjadi chat terakhirku dengannya karena setelah itu aku menghapus akun
Lineku yang kuanggap tak penting lagi setelah kepergiannya.
Dan sampailah aku pada hari ini. Setelah lelah
mengayuh sepeda, aku pun sampai di rumah dengan keadaan agak basah karena hujan
yang semakin deras di sepanjang jalan. Aku mengeringkan tubuhku dan tanpa
kuhiraukan semua pertanyaan padaku, aku membaringkan tubuhku di kamarku.
Memikirkan sejenak apa yang sudah kualami dan menghapus air mataku. Mencoba
berimajinasi mungkinkah cerita ini berlanjut? Ataukah ini sebuah akhir? Akhir
dari pengalaman cintaku, cerita di atas sepeda. Di dalam lubuk hatiku, aku
berharap cerita ini dapat berakhir bahagia. Mataku pun terpejam, begitu pula
hati dan pikiranku menutup pagiku yang melelahkan ini.
Selesai
Karya: Amarta Sadwika Sukma, Putu
Terimakasih telah membaca! Semoga terhibur!
*PERINGATAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
Baca juga: Cerita di Atas Sepeda II dan Cerita di Atas Sepeda III
Baca juga: Cerita di Atas Sepeda II dan Cerita di Atas Sepeda III
0 komentar:
Posting Komentar